Kemarin habis ngomongin film-film
yang cocok buat healing. Eh, tema minggu ini soal film favorit. Kalau di post
kemarin udah film Indonesia, sekarang saatnya ngomongin film berbahasa asing. Paling
gampang ya, film berbahasa Inggris.
Oke, mari lihat akun Netflix,
ada film apa aja di sana.
Kalau di kategori film/ drama
seri, bertengger serial Friends dan Gilmore Girls. Masing-masing sudah tak
terhitung berapa kali keduanya saya tonton berulang-ulang. Mulai dari musim
pertama, sampai musim terakhirnya.
FRIENDS
Serial Friends merupakan serial
komedi situasi, karya dari David Crane dan Marta Kauffman. Selama hampir 10
tahun, tayang di NBC mulai dari 22 September 1994 sampai 6 Mei 2004.
Bercerita tentang kisah hidup
enam orang sahabat di Manhattan, serial ini menjadi favorit banyak orang di
banyak negara. Di tahun 2021, dibuatlah Friends: The Reunion, yang dibintangi masih
oleh keenam tokoh sentralnya.
Karena ceritanya berlatar
belakang kehidupan anak muda di Amerika, tentu saja banyak nilai-nilai yang
muncul tidak sesuai dengan prinsip hidup kita (orang Indonesia).
Tapi kenapa favorit? Ceritanya
memang bergenre komedi, jadi serial ini bisa “ditonton” sambil kerja, bikin
makan lebih lahap, dan bisa menaikkan mood meski cuma didengarkan saja bak
dengerin radio. Saya punya episode-episode favorit. Kebanyakan kalau mereka
sedang melakukan piknik keluar kota.
GILMORE GIRLS
Yang kedua, serial Gilmore
Girls. Saya nontonya waktu zaman kuliah, di kontrakan. Serial ini sempat tayang
di televisi lokal. Gilmore Girls terdiri dari tujuh musim, sebanyak 153 episode,
mulai tayang di tahun 2000, dan episode terakhirnya tayang di tahun 2007.
Tokoh sentralnya adalah
seorang perempuan (single mom) bernama Lorelai Gilmore dan anak remaja perempuannya
(namanya sama, tapi dipanggil Rory) yang berjuang ingin masuk kuliah di Harvard
University. Mereka tinggal di kota (fiksi) kecil bernama Stars Hollow, di Connecticut.
Kotanya ini unik banget dipenuhi
tokoh-tokoh yang agak absurd. Tokoh-tokohnya dibuat jauh dari sempurna. Walaupun
si tokoh utama, tetep ada nyebelin-nyebelinnya. Kadang saya geregetan, ngapain
sih dia kayak gitu, dan sebel sendiri, tapi memang jadinya terlihat nyata.
Banyak episode yang asyik
untuk ditonton, meski tetap ada drama-drama terutama karena konflik antara Lorelai
dan orang tuanya yang kaya raya.
Salah satu episode favorit
saya waktu diadakan makan malam dengan tema abad pertengahan di hotel tempat Lorelai
bekerja, dengan mengundang seluruh warga kota. Episode favorit lainnya adalah
hari pertama Rory kuliah, waktu Lorelai mengadakan pesta makan untuk seluruh
penghuni asrama perempuan.
Demi tetap bisa nonton meski
sudah nggak tayang di televisi, saya sampai nitip dibelikan DVD Gilmore Girls
ini sama teman saya di Jakarta. Nggak asli, tentu saja. Tapi saya punya satu musim
yang asli. Musim ke enam, saya beli di Gramedia. Waktu itu buat beli satu paket
DVD serial yang asli mesti merogoh kocek 400 ribuan. Udah gitu barangnya jarang
ada.
Serial ini menjadi “teman
sejati” saya semasa hidup di kos-kosan. Pulang kantor di Jumat sore, berbekal
belanjaan untuk memenuhi jatah makan, saya nggak keluar-keluar kos sampai berangkat
kerja lagi di hari Senin pagi, sambil nonton Gilmore Girls lewat DVD.
Seperti juga serial Friends,
di tahun 2016, dibuatlah film “revival”nya. Gilmore Girls, A Year in the Life. Ceritanya
seolah ingin menjawab pertanyaan penonton tentang nasib Rory selepas lulus kuliah
di Yale (iya, dia nggak jadi masuk Harvard). Saya cuma nonton sekilas di akun Netflix orang
lain, karena di akun saya nggak bisa. Ternyata tidak menarik. Saya lebih suka
nonton serialnya saja.
Sempat sedih karena salah
penyimpanan, beberapa DVD Gilmore saya rusak. Akibatnya saya cuma bisa nonton
beberapa episode aja. Berakhir super hepi karena Girlmore Girls tersedia di
Netflix. Semoga serial ini tetap bisa saya tonton selamanya.