“Kalau nggak suka bola, kok
nonton bola?”
“Aku suka melihat orang yang menonton
pertandingan sepak bola.”
“Semacam hobi gitu nontonin
orang? Aneh banget sih, nggak ngerti.”
Memang banyak yang dia tidak
mengerti.
“Aku suka melihat wajah-wajah
penonton bola.”
“Ada apa emangnya di muka mereka?”
“Ada berbagai macam emosi.”
Dahinya berkerut.
“Kalau mukanya penonton
bulutangkis kamu tontonin juga?”
Aku menggeleng.
“Basket? Voli?”
“Tidak.”
“Aneh. Kamu ini orang paling
datar. Tapi hobinya nontonin muka orang.”
“Malam minggu besok ada
pertandingan. Kamu mau ikut?”
Sorot matanya langsung
berubah. Sejurus kemudian berganti lagi.
“Nggak deh, makasih. Mana
mungkin. Aku ini sakit.”
“Dokter bilang kamu boleh
keluar rumah.”
“Buat apa, toh bentar
lagi mati.”
“Kamu tidak boleh menyerah.”
“Kamu nggak liat apa keadaanku
ini? Kalau hidup ini pertandingan, aku udah kalah.”
Rautnya masygul.
“Di pertandingan sepak bola kamu
bisa melihat wajah-wajah yang kalah seperti apa. Bukan seperti kamu.”
Bibirnya mengerucut, alisnya
yang tebal bertaut.
“Kalau kamu ikut, aku akan menemani
kamu ke mana saja kamu mau.”
“Ke mana aja?”
Aku mengangguk.
Dia terdiam. Tangannya sibuk
memainkan ponsel, meski aku tahu pikirnya telah bertualang.
“Kalau aku mati, emangnya kamu
mau nemenin?”
Dikiranya aku tak mendengar.
*
“Aduh! Kemasukan gol lagi!”
Pekikmu terurai oleh marah yang
menggemuruh. Kerumunan raut menjadi geram dan gusar.
Aku beranjak.
“Ayo pulang.”
“Nanggung, sekalian nonton
sampai selesai, ya!”
Paras yang telah
berminggu-minggu pucat itu merona.
“Aku mengajakmu bukan untuk
menonton pertandingan.”
“Minta minum!”
Aku menyodorkan air dalam
botol yang telah surut separuh.
Dia menenggaknya sampai habis.
Pandangannya beralih ke lapangan. Rakus
melahap kembali hidupnya yang sempat terenggut senyap.
Menit-menit berlalu. Aku mengedarkan
pandangan. Mengamati aneka rupa. Mengintai gerak-gerik. Kecewa, amarah, frustrasi.
“Kita pulang sekarang.”
Tanganku menangkap tangannya.
Siap menariknya pergi.
Matanya membola menatapku.
“Kamu… takut?”
Iya.
“Lebih baik pulang sekarang.”
Senyumnya tersungging.
“Tapi aku masih mau di sini. Ayo,
tepati janjimu, temani aku.”
Aku berhitung.
“Tidak akan menang.”
“Seperti aku.”
“Bukan.”
“Kamu tahu rasanya berminggu-minggu
cuma teronggok seperti lap gembel?”
Aku menggeleng.
“Sekarang aku nggak peduli kalah
atau menang. Aku cuma mau nonton pertandingan ini sampai selesai!”
Dalam kekuatannya aku
melesak. Terus menatapnya. Tak seguratpun cemas.
Orang-orang mulai merangsek. Dia
makin merona diantara berang.
Asap menyesakkan membumbung. Aku
menyeret langkahnya menerobos kemelut.
Tapi ujung jalan pun pampat.
Aku sudah tak bisa melihat
dia. Hanya mendengarnya terus tertawa meski terjejal di dekatku. Sedekat
kudengarkan degupan jantungnya.
Aku merenungkan parasnya
sekali lagi. Dia tidak pernah kalah.
Foto dan Gambar:
Freepik
No comments:
Post a Comment