Kamu Suka Drama Korea?
Nggak banyak sih, film Korea
yang sudah saya tonton. Apalagi drama Korea (Drakor) yang biasanya sampai ber-season-season.
Waktunya yang belum tersedia untuk bisa deal with alur cerita yang
biasanya sengaja dibuat panjang dan banyak konflik. Rasanya kurang bisa
menikmati film yang terlalu banyak “drama”. Nonton itu, (menurut pendapat saya)
mestinya bikin kita happy, dan releived. Bukannya nambahin stress.
Dengan alasan kendala bahasa,
saya juga jarang memilih Drakor buat ditonton. Karena waktu nonton seringkali
dilakukan sambil mengerjakan hal lain, mulai beberes rumah atau kerja di depan
laptop, saya lebih suka bisa sesekali cuma “mendengar” film, ketimbang “menonton”
dengan mata harus terus mantengin layar. Inilah salah satu sebab di playlist Netflix
saya isinya cuma film-film yang sudah pernah saya tonton (berulang kali). Macam
playlist musik zaman Winamp dahulu kala. Eh, bahkan ketimbang
mendengarkan musik, saya lebih suka “mendengarkan” film sambil bekerja.
Kembali ke Drakor, satu-satunya
drama Korea yang ada di playlist Netflix saya adalah Hometown Cha Cha Cha. Meski
saya nggak paham bahasa Korea, “mendengar” film ini sudah memberi efek yang
mirip seperti saya sedang “nonton” film kesukaan saya yang lain.
Trus, kenapa kok Hometown
Cha Cha Cha?
Ceritanya tentang hubungan
antara seorang dokter gigi perempuan dan seorang laki-laki serba bisa. Setting cerita
berada di daerah pedesaan Korea yang terletak di tepi laut.
Saya tahu Drakor ini dari
perbincangan teman-teman SMA di grup WA, dan baru benar-benar tergerak nonton
karena ada bapak-bapak yang ikutan merekomendasikannya. Saya pikir pasti ada
yang beda dari ceritanya sampai dia mau nonton Drakor ini diantara banyaknya
film lain padahal waktunya nggak banyak.
Setelah saya nonton, pertama
kali tentu saja ada bagian-bagian yang ke-skip. Alias saya nggak
mantengin bener, cuma sekilas-sekilas aja dilihat. Kalau saya nggak suka, baru
satu atau dua episode, si Drakor sudah hilang dari playlist. Biasanya karena
alur cerita terlalu “drama” atau tokoh yang “sok keren”. Kadang konflik yang
terlalu kentara di awal bisa bikin males nerusin nonton juga.
Tapi Drakor yang ini, saya menikmati
alur cerita yang mengalir pelan, seolah-olah cerita sehari-hari. Belum lagi
tokoh-tokohnya yang terlihat alami. Nggak sok cantik, nggak sok keren, seolah biasa
aja. Settingnya pun demikian. Rumah-rumah yang jadi tempat tinggal para
tokohnya kelihatan riil.
Biasanya lagi, kalau jumlah
tokoh dalam film terlalu banyak, saya juga males nerusin nonton. Apalagi ini
film asing dengan nama-nama asing. Dijamin nggak akan hafal siapa itu siapanya
siapa. Tapi di Hometown Cha Cha Cha tokoh yang banyak itu dilengkapi dengan
karakter yang kuat. Masing-masing bahkan punya cerita latar belakang, yang bisa
melengkapi cerita si karakter utama, tanpa bikin pusing.
Tokohnya komplit mulai dari
anak SD sampai nenek-nenek. Masing-masing punya cerita. Dan meski Drakor ini
bergenre komedi dan romance, tetap ada kisah-kisah yang bikin mewek. Terutama
kisah yang relate banget sama saya. Yang mana, ya rahasia aja dah.
Meski akhirnya setelah lewat
sepuluh episode, drama mulai meruncing, plus kejadian-kejadian yang dibikin
serba kebetulan, tapi tetap Drakor ini masih jadi Drakor yang saya simpan di playlist.
Sesudahnya saya sampai
mantengin grup setiap ada pembicaraan soal Drakor, berharap ada lagi Drakor
yang semacam ini. Tapi belum ada tuh, yang ngena seperti yang satu ini.
Kalau ada yang mau kasih
rekomendasi, boleh ya kasih tahu saya.