“We cannot escape history”
(Kita tidak dapat melarikan diri dari sejarah)
Abraham Lincoln
Selama ratusan tahun, bangsa Indonesia hidup dalam masa penjajahan bangsa Eropa. Berdasarkan catatan sejarah, bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis, diikuti Spanyol, Inggris dan Belanda.
Tak dapat dipungkiri, meski masa penjajahan menyisakan banyak kisah dan kenangan yang memprihatinkan, masih ada sisa-sisa peninggalan masa lampau yang dapat dipetik hikmahnya oleh bangsa Indonesia saat ini.
Salah satunya adalah dengan mengambil pelajaran dari peninggalan berupa bangunan-bangunan kuno di pelbagai wilayah di Indonesia.
Bangunan-bangunan tua yang masih berdiri di kota-kota di Indonesia, seakan menjadi saksi sejarah, tidak hanya tentang kehidupan di masa lampau, melainkan juga tentang perjalanan bangsa Indonesia dengan berbagai kisahnya. Di Surabaya ada Hotel Oranje (kini Hotel Majapahit) yang dibangun pada tahun 1916 dan pada era penjajahan Jepang berganti nama menjadi Hotel Yamato. Di sana pernah terjadi insiden penyobekan bendera Belanda menjadi bendera Merah Putih yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah nan heroik. Di Bandung, ada Hotel Savoy Homann yang menjadi saksi bahwa bangsa Indonesia pernah menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika.
Bangunan peninggalan era Kolonial yang seringkali dibangun dengan tetes keringat dan darah para bumiputera itu penting artinya bagi generasi penerus. Setiap bangunan memiliki kisah sejarah yang bisa menjadi pembelajaran bagi generasi di masa datang.
(Dok Pribadi) |
PELESTARIAN BANGUNAN BERSEJARAH
Beragam upaya telah dilakukan oleh banyak kalangan, mulai dari pemerintah, swasta hingga organisasi-organisasi dan komunitas dari dalam dan luar negeri, demi kelestarian bangunan-bangunan bersejarah di berbagai tempat di Indonesia. Meski tak dapat dipungkiri, banyak pula bangunan yang kemudian rusak dan musnah karena termakan usia tanpa mendapatkan perbaikan, atau hilang karena tergusur oleh kepentingan-kepentingan zaman yang lebih modern.
Dilema kepentingan pelestarian bangunan bersejarah dan kepentingan ekonomi adalah hal yang sering terjadi yang berakibat pada dirobohkannya bangunan bersejarah untuk diganti dengan bangunan baru. Meskipun bangunan tersebut telah diberikan status cagar budaya oleh pemerintah.
Pengertian Cagar Budaya dalam UU Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:
“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”
1. Benda misalnya biola W.R Supratman
2. Struktur misalnya Tugu Pahlawan di Surabaya
3. Bangunan misalnya gedung Lawang Sewu di Semarang
4. Situs yaitu lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya
5. Kawasan yaitu lokasi yang memiliki dua atau lebih benda cagar budaya yang berdekatan.
Tidak mudah memang menyematkan status cagar budaya pada sebuah bangunan. Sebuah bangunan harus memenuhi kriteria berusia 50 tahun atau lebih, dan mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, untuk bisa ditetapkan sebagai cagar budaya. Pun itu harus melewati proses verifikasi dari tim ahli.
Bangunan berstatus Cagar Budaya (Dok Pribadi) |
Dengan status cagar budaya, sebuah bangunan berdasarkan Undang-Undang mendapatkan perlindungan dari Pemerintah. Undang-Undang Tentang Cagar Budaya mewajibkan setiap pemilik bangunan cagar budaya untuk menjaga dan memelihara bangunan miliknya. Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawatnya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan baik itu karena pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia. Perawatan cagar budaya dilakukan dengan cara pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya. Untuk ini diperlukan pengawasan secara terstruktur, intensif dan konsisten.
Dengan Undang-Undang Cagar Budaya pemerintah secara tidak langsung juga mengajak masyarakat turut berperan aktif dalam setiap upaya pelestariannya.
Mengapa harus repot menjaga sebuah bangunan tua yang mungkin sudah lapuk dimakan zaman? Salah satu tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan pada generasi yang akan datang untuk dapat lebih mengembangkan pengetahuan melalui bangunan tersebut.
“Study the past if you would define the future.”
(Pelajari masa lampau jika kamu ingin menetapkan masa depan.)
Confusius
Pelestarian bangunan cagar budaya menjadi penting karena keberadaan bangunan-bangunan tersebut untuk dipelajari demi masa depan. Mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya, tidak hanya bisa dilakukan semata untuk memenuhi aturan belaka. Penting bagi masyarakat untuk tahu tentang latar belakang sejarah, dan kisah-kisah yang tersimpan bersama bisunya bangunan-bangunan cagar budaya di sekitar kita.
SEMARANG DAN CAGAR BUDAYA
Di Semarang, ada satu kawasan kaya bangunan cagar budaya yang disebut sebagai “Little Netherland” atau “Belanda Kecil”, yang kini dikenal sebagai kawasan “Kota Lama”. Seperti namanya, kawasan di sebelah Utara kota Semarang ini tampak bak kepingan negeri Belanda. Di sana berdiri sekitar 50 bangunan kuno berupa gedung-gedung perkantoran berdampingan dengan bangunan toko, hunian dan pergudangan, sebagai saksi sejarah majunya perdagangan antar daerah, antar pulau, dan luar negeri yang dilakukan melalui kota Semarang di masa lampau.
Kota Semarang yang terletak di pesisir Utara Jawa, dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan yang maju. Karena itu bisa dimaklumi jika Semarang lebih dikenal karena kegiatan perniagaannya ketimbang kiprahnya di bidang yang lain. Dilihat dari sisi kesenian dan kebudayaan misalnya, Kota Semarang bisa dibilang kalah pamor ketimbang kota-kota terdekat seperti Surakarta dan Yogyakarta.
Sehingga tak mengherankan pula, jika keberadaan satu gedung kesenian, yang lokasinya tak jauh dari Kota Lama Semarang, tidak banyak diketahui, bahkan oleh warga Semarang sendiri. Padahal bangunan ini merupakan bangunan cagar budaya yang menyimpan cerita sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kesetaraan hak dalam seni budaya.
Bangunan itu adalah Volkstheater Sobokartti, atau biasa disebut Sobokartti.
Gedung Sobokartti Semarang (Dok Pribadi) |
Tak banyak yang tahu, bahwa dari bangunan yang tidak nampak menonjol dari jalan raya ini dapat dipetik hikmah dari ceritanya di masa lalu yang bisa menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia ke depannya.
Gedung Sobokartti - Tampak Depan (Dok Pribadi) |
DI BALIK KISAH PARA PENDIRI
Gedung Sobokartti adalah gedung kesenian yang terletak di jalan Dr. Cipto No. 31-33 Semarang. Dalam masa pembangunannya, Sobokartti melalui masa-masa penting dalam sejarah Indonesia, yaitu masa ketika mulai diberlakukannya Politik Etis. Pandangan Politik Etis ini beranggapan bahwa bangsa bumiputera dan bangsa Belanda harus bersatu karena saling membutuhkan. Muncul juga pandangan bahwa “Timur” dan “Barat” bisa saling mengisi dan melengkapi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Pada masa itu benih-benih nasionalisme mulai muncul di masyarakat bumiputera, termasuk di bidang kebudayaan dan kesenian. Di kalangan terpelajar timbul kesadaran bahwa kebudayaan dan kesenian bumiputera tidak kalah dari kebudayaan dan kesenian Barat, karena itu perlu untuk mendapatkan perhatian dan dipelajari secara serius.
Sementara pada masa itu, keraton sebagai pusat kesenian belum terbuka sepenuhnya bagi pihak dari luar untuk bisa mempelajari dan menikmati kesenian dari dalam keraton. Hingga pada masa itu para pemuda pelajar di Yogyakarta meminta kepada Sultan Hamengkubuwana VII agar diperbolehkan mempelajari kesenian keraton.
Permintaan itu dipenuhi pihak keraton dengan mendirikan Kridha Beksa Wirama (KBW) pada tahun 1918. Peristiwa itu menandai awal proses demokratisasi seni pertunjukkan kraton Jawa. Sultan sendiri yang memberikan dukungan finansial bagi kegiatan-kegiatan KBW. KBW menjadi wadah untuk menyebarluaskan pendidikan seni tari bagi masyarakat umum. Tari-tarian yang tadinya hanya berkembang di dalam keraton seperti Bedhaya dan Srimpi, bisa dipelajari dan ditampilkan di luar Keraton.
Karsten bersama istrinya Soembinah dan tiga dari empat anaknya. (Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/) |
Thomas Karsten adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memiliki peran penting dalam sejarah perencanaan kota dan arsitektur di Indonesia. Atas undangan Henri Maclaine-Pont temannya semasa kuliah di Delft Belanda, Karsten datang ke Semarang pada 1914.
Gedung-gedung karya Karsten di Semarang antara lain: Pasar Johar, Kantor Kereta Api DAOP 4, dan Kantor Asuransi Jiwasraya. Museum Sono Budoyo di Yogyakarta dan Pasar Gede di Surakarta adalah karya Karsten lainnya.
Keistimewaan Karsten tidak hanya menyangkut karya-karya arsitekturnya, melainkan juga kepedulian Karsten pada isu-isu sosial dan politik. Karsten yang beristrikan perempuan pribumi ini mengakui bahwa kebudayaan Barat membawa kemajuan, tapi dia memandang kebudayaan Barat sedang merosot. Kebudayan Timur dengan spiritualisme dan ikatan sosialnya bisa menyelamatkan Barat dari kemerosotannya itu.
Menurut Karsten, unsur-unsur terbaik Timur dan Barat bisa digabungkan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi serta membawa kemajuan bagi keduanya. Karsten mempunyai visi tentang Indonesia pasca penjajahan, di mana Timur dan Barat hidup bersama dan sederajat dalam masyarakat yang harmonis.
Karsten banyak berhubungan dengan para intelektual Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Pangeran Mangkunegoro VII, penguasa Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Di antara Mangkunegoro VII dan Karsten terjalin persahabatan yang didasari rasa saling hormat. Keduanya disatukan oleh kepedulian pada kebudayaan Jawa. Karsten melihat sosok Mangkunagara VII sebagai model priyayi Jawa modern.
Mangkunagara VII (Sumber Gambar: Wikipedia) |
Mangkunagara VII dikenal kiprahnya dalam memajukan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat, dan salah satunya kesenian. Pada Juli 1918 atas inisiatifnya di Mangkunegaran diadakan pertemuan pertama serangkaian kongres untuk memajukan kebudayaan Jawa. Sekitar 375 utusan, sebagian diantara mereka orang Eropa, datang dari seluruh Jawa. Pada akhir kongres dibacakan mosi tentang perlunya dibentuk sebuah lembaga tetap untuk memajukan studi dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Sekali lagi berkat usaha Mangkunagara VII pada Agustus 1917 berdirilah Java Instituut yang bertujuan ”memajukan perkembangan kebudayaan pribumi, dalam arti kata yang seluas-luasnya, di Jawa, Madura dan Bali.” (Larson, 1990)
Untuk mewujudkan gagasan yang dipelopori oleh KBW, di Semarang Karsten bersama Mangkunegara VII mengadakan pertemuan yang dihadiri antara lain burgemeester Semarang Ir de Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar ”De Locomotief”. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan perkumpulan kesenian yang diberi nama “Sobokartti” (tempat berkarya).
Menurut anggaran dasar Kunstvereeneging Sobokartti yang disahkan pada 6 September 1926 tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian bangsa sendiri (inheemsche kunst).
Adapun nama Sobokartti berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu Sabhā yang berarti tempat atau ruang pertemuan dan Kīrti yang berarti perbuatan baik.
Pada awalnya kegiatan-kegiatan Sobokartti dilakukan di paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstuin. Tapi pada 1930 berhasil dibangun gedung kesenian di Karenweg (sekarang Jalan Dr. Cipto), yang diberi nama Volkstheater Sobokartti.
JIWA DEMOKRATISASI DI SOBOKARTTI
Bangunan teater Sobokartti dari sisi Tenggara (Dok Pribadi) |
Bangunan Sobokartti saat ini mungkin terlihat tersembunyi karena tidak menghadap jalan raya di sisi Timur, melainkan menghadap Selatan. Bangunan teater Sobokartti menyerupai struktur bangunan pendopo, dengan serambi di bagian depan. Atapnya berbentuk limasan bersusun, dengan teritisan atap yang lebar.
Soko Guru di bangunan utama Sobokartti (Dok Pribadi) |
Pondasi bangunan dibuat dari batu kali, dan berkonstruksi kayu, dengan empat soko guru sebagai pilar utama penyangga atap bangunan. Dinding bangunan terbuat dari batu bata, yang dilapisi dengan plesteran dan kemudian di cat putih.
Bagian serambi memiliki atap yang terpisah dari bangunan utama, berbentuk limasan. Bagian serambi ini terdapat loket untuk menjual tiket pertunjukan, sekaligus ruang tunggu bagi penonton.
Di ruang utama terdapat panggung pertunjukan. Penonton bisa memakai sisi lainnya untuk menyaksikan pertunjukan di panggung utama, dengan tempat duduk panjang yang bertingkat semakin tinggi ke belakang seperti pada bangunan teater. Di bagian belakang panggung utama terdapat ruangan untuk persiapan pementasan.
Serambi Sobokartti dengan Atap Limasan (Dok Pribadi) |
Serambi Sobokartti (Dok Pribadi) |
Penataan ruangan seperti itu tak lepas dari proses diskusi antara Karsten dan Mangkunagara VII yang berlangsung jauh sebelum organisasi Sobokartti berdiri tentang konsep rancangan gedung teater yang sesuai bagi seni pentas Jawa
Karsten tidak sekedar mempertimbangkan faktor-faktor arsitektur seperti estetika, penghawaan, pencahayaan dan akustik tapi juga tentang masa depan.
Seni pertunjukan Jawa (seperti umumnya seni pertunjukan di Nusantara) tidak mengenal pemisahan yang ketat antara penonton dan pelakon. Selain itu, koregrafi tarian Jawa dirancang untuk dinikmati dari semua penjuru (Brandon, 1967). Sementara seni pertunjukan Barat justru berusaha menciptakan realitas baru atau dunia lain yang sepenuhnya terpisah dari penonton. Karena itu Karsten berpendapat panggung ala Barat yang hanya bisa dinikmati dari satu sisi bukan tempat yang cocok untuk pementasan kesenian Jawa.
Meski demikian, pendhapa konvensional di istana dan rumah para bangsawan yang biasa dipakai untuk menggelar seni pertunjukan Jawa juga tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Kelemahan paling mendasar pendhapa konvensional sebagai suatu teater adalah karena faktor kenyamanan penonton. Tidak ada tempat yang jelas bagi penonton apakah duduk atau berdiri, dan apakah mereka bisa melihat panggung dengan jelas, tidak dipikirkan dalam rancangan pendhapa konvensional . Bagi Karsten ini sama sekali tidak bisa diterima justru ketika “kesenjangan sosial di masyarakat harus semakin dihilangkan” (Jessup, 1985).
Karsten membuat sebuah prototipe gedung teater jawa (javaanse schouwburg) yang diharapkannya bisa menjadi acuan mendirikan gedung pertunjukan di berbagai tempat yang sesuai dengan karakter seni pertunjukan Jawa.
Di kemudian hari satu-satunya javaanse schouwburg yang berhasil dibangun berdasarkan konsep dari Karsten adalah teater Sobokartti. Karena keterbatasan dana, tidak sepenuhnya rancangan Karsten berhasil terwujud. Bangunan Sobokartti yang ada saat ini terlihat lebih kecil dan sederhana ketimbang rancanngan maket Karsten.
Sobokartti kini (Dok Pribadi) |
Rancangan Sobokartti Karsten memiliki prinsip yang sama mewakili pandangan Politik Etis dengan memadukan hal-hal baik dari “Barat” dan “Timur” untuk mencapai keselarasan dalam desainnya. Tempat pertunjukan teater model Barat dikawinkan dengan konteks pertunjukan kesenian lokal.
Meskipun demikian, prinsip dasar yang diterapkan tetap sama, yaitu berangkat dari sesuatu yang telah dimiliki orang Jawa sejak dulu, yang diberikan unsur-unsur “Barat” sebagai pelengkap untuk menyempurnakannya.
TANTANGAN SOBOKARTTI SEBAGAI CAGAR BUDAYA
Logo Sobokartti Semarang (Sumber gambar: https://sobokartti.wordpress.com/) |
Penetapan Sobokartti sebagai Cagar Budaya (Dok Pribadi) |
Saat ini Sobokartti dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Sobokartti. Status Sobokartti sebagai cagar budaya ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II Semarang no. 646/50 tanggal 4 Februari 1992. Artinya sebagai bangunan cagar budaya sudah tentu Gedung Volkstheater Sobokartti memiliki nilai signifikan yang memberi kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan.
Bangunan Cagar Budaya yang dilindungi. (Dok Pribadi) |
Sedangkan dalam situs Kemendikbud dan sistem registrasi cagar budaya, Sobokartti tercatat didaftarkan pada bulan September 2017, berstatus lolos verifikasi dan dalam tahap kajian dan penilaian tim ahli.
(Dok Pribadi) |
Saat ini keberlangsungan bangunan teater Sobokartti menghadapi tantangan yang kurang lebih sama dialami oleh bangunan-bangunan tua lainnya yang lapuk dimakan usia di wilayah Semarang. Bencana banjir, rob, dan intrusi air laut adalah tantangan yang harus dihadapi bangunan teater ini setiap musimnya.
Banjir dari luapan Kali Banger pernah membuat bangunan utama terendam air setinggi lutut orang dewasa yang membuat semua aktivitas kesenian terhenti. Tantangan lainnya adalah menata lingkungan di sekitar teater Sobokartti agar tidak menjadi kumuh dan jorok. Saat ini sedikitnya 20 keluarga yang tinggal dan menempati (magersari) kompleks Sobokartti.
Secara bertahap perbaikan terus dilakukan dengan membuat gorong-gorong, menyediakan dan memperbaiki sarana dan prasarana seperti MCK di lingkungan Sobokartti. Ini adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah dan murah untuk menjaga dan merawat Sobokartti agar bisa bertahan di masa depan.
Akan tetapi melestarikan cagar budaya bukan hanya upaya merawat secara fisik, tetapi juga menjaga jiwa dan semangat dari bangunan cagar budaya agar tetap hidup dan berkembang.
Patut disyukuri hingga saat ini bangunan Sobokartti masih mewadahi aneka kegiatan kesenian diantaranya kursus tari, kursus karawitan, pedalangan, pranatacara, bahkan kursus membatik. Di Sobokartti juga sering berlangsung perhelatan kebudayaan yang melibatkan seniman-seniman lokal termasuk pentas wayang secara rutin.
Pentas Tari Modern di Sobokartti (Sumber Gambar: Youtube) |
Yang membahagiakan adalah bahwa Sobokartti juga berhasil menarik minat generasi muda untuk belajar kesenian tradisi.
Generasi muda, laki-laki dan perempuan berlatih tari di Pendopo luar Sobokartti (Sumber Gambar: Youtube) |
Sobokartti di usianya yang menjelang 88 tahun, bisa bertahan dengan idealisme para pendirinya, sebagai tempat untuk berkarya dan tempat apresiasi karya di bidang kesenian. Hal ini patut diapresiasi. Di tengah euforia penyambutan masyarakat Indonesia pada seniman dari luar dengan panggung megah dan biaya besar, memang tak banyak panggung yang tersedia bagi para seniman lokal. Khususnya seniman tradisi. Apalah daya para seniman jika terus diharapkan berkarya tanpa apresiasi.
Setiap generasi manusia adalah pewaris kebudayaan. Manusia lahir tidak membawa kebudayaan dari alam Garbani (alam sebelum manusia terlahir ke dunia), melainkan bertumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam lingkungan budaya tertentu, di mana dia dilahirkan. Perkembangan manusia dibentuk oleh kebudayan yang melingkunginya.
Dengan hilangnya kesenian lokal dalam kehidupan sehari-hari, tak heran jika generasi muda Indonesia kemudian tak mengenali lagi kesenian asli bangsanya sendiri.
Pertunjukan kesenian lokal di media acapkali hanya untuk memenuhi tuntutan seremonial. Selain penonton yang semakin berkurang, kesenian lokal juga terdesak karena tidak memiliki pengayom, yang mampu mendukung agar bisa tumbuh dan berkembang. Kesenian bangsa ini terancam musnah. Merupakan kewajiban kita semua untuk membuatnya lestari dan kembali berjaya di negeri sendiri.
Meskipun tembok dan soko guru penyangga Sobokartti bisa tegak hingga puluhan tahun lagi, apalah artinya jika bertahan tanpa jiwa yang hidup di dalamnya.
#KemendikbudxIIDN
Yuk berpartisipasi pada Kompetisi "Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!
Daftar pustaka dan sumber tulisan:
- Djudjun Rusmiatmoko, Erni Setyowati, Gagoek Hardiman, Kontribusi Lubang Angin Dan Ventilasi Udara Pada Bangunan Sobokartti Semarang Dalam Mewujudkan Kenyamanan Termal, Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro
- Marnimin (Ed), 1994, Jangan Tangisi Tradisi, Penerbit Kanisius.
- Purwanto, L.M.F dan Soenarto, 2012, Menapak Jejak-jejak Sejarah Kota Lama Semarang, Bina Manggala Widya.
- Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, 2012, Tegang Bentang – Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama.
- Sriayu Aritha Panggabean, Perubahan Fungsi dan Struktur Bangunan Cagar Budaya Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Cagar Budaya, Pandecta, Volume 9. Nomor 2. Januari 2014.
- Tjahjono Rahardjo, 2013, Javaanse Schouwburg Sobokartti dan Visi Indonesia Merdeka
- Foto caption dari Youtube Channel UPGRI Semarang: https://www.youtube.com/watch?v=RaLd9TY1psU
- https://sobokartti.wordpress.com/
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
- https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/
- https://www.kompasiana.com/tag/seni
Mbak aku baru tahu lho. Usia yg udah tua seakan mengokohkan keberadaannya. Next time pingin banget ke sini mbak wind
ReplyDeleteIya ini gedung memang low profile.. Kalau ke sini dipasin jadwal ada latihan biar tambah seru
DeleteKayak baca paper hehhee lengkap...tapi ini versi cara bertuturnya santuy dan enak dibaca..bikin aku pingin main2 ke sobokartti untuk liat bangunan tersebut...dulu suka dipake buat latian nari ya, sekarang masih ngga yaa
ReplyDeleteMasih ada jadwal latihan tari dan karawitan di sana. Yuuk
DeleteAku pernah juga ikut les nari di Sobokarti, suka aja karena ada temannya, hahahaa
ReplyDeleteSekarang malah bangunannya lebih bagus dibanding aku masih kecil dulu
Wah, Mba Wati pernah belajar di sini juga ternyata...
Deletedulu pernah datang ke sobokarti, pas ada undangan acara juga, hehehe, tempatnya memang jawa banget, ya, semoga terjaga terus cagar budaya kitaaa
ReplyDeleteAamiin, semoga terjaga semuanya, bangunannya, sekaligus "isi"nya
DeleteWah Sobokarti,,
ReplyDeleteAku pernah mencicipi asiknya belajar seni di Sobokarti, mulai dari latihan gamelan, sampai nonton & diskusi tentang film dokumenter.
Bangunannya asik, sirkulasi udaranya bagus jadi adem meskipun Semarang sendiri panas.
Semoga Sobokarti tetap bisa berfungsi sebagai tempat untuk mengapresiasi seni seperti tujuan awalnya didirikan.
Uwow kereen deh Lintang. Kepikiran pengen ikut karawitan di sana..
DeleteHabis baca tulisan ini aku jadi pengen ke sana mbak. Selama ini belum pernah ke sana. Sepertinya harus jadi agenda tempat yang dikunjungi bersama anak-anak.
ReplyDeleteKalau ajak anak-anak bisa dipas-in sama jadwal latihan tari yang anak-anak, biar makin seru. Hari Minggu pagi kayaknya
DeleteDulu waktu Vivi masih kelas 3 SD ikutan latihan nari di Sobokartti ini. Dan yaaa... memang tantangannya nih soal banjir. Pernah lho dulu libur latihan karena gedungnya tergenang sampai sebatas lutut. Memprihatinkan. PR banget untuk tetap menjaganya agar tetap menarik minat kaum muda ke sana.
ReplyDeleteUgh, sempat lihat pas banjir itu ya Mbak. Kebayang itu kayu-kayu kalau terendam eman-eman...
DeleteAlhamdulillah,aku.merasa kenal dg Sobokarti setelah membaca post mba yg detil ini.Trmksh mba.. Mudah2an segera kudapat mengunjunginya juga dan'membantu' upaya pelestariannya dg ikut menuliskan pentingnya bangunan cagar budaya ini dilestarikan..
ReplyDeleteAamiin, semoga makin banyak yang datang, yang perhatian, pengelolanya dapat banyak dukungan buat melestarikannya
DeleteMakasih Mbak Winda.. aku jadi tahu sejarah Sobokarti. Dulu tahunya cuma sebatas pendopo buat pertunjukan seni, kadnsh disebut2 sama anak-anak sastra. Semoga terus terjaga ya..
ReplyDeleteAlhamdulillah, aku juga tahunya pas belajar buat nulis ini. Gedung-gedung tua menarik banget buat diulik sejarahnya.
DeleteLokasinya cuma seperlemparan kolor dari kantor, hihi. Jadi sering lewat. Aku seneng lihat anak-anak latihan nari di sini, pernah juga lihat pementasan wayang dengan dalang yang juga anak-anak. Seneng deh. Apalagi bangunan ini masih terasa otentik. Mudah-mudahan, semakin banyak anak yang melestarikan budaya kita ya
ReplyDeleteNah ini kayaknya sih "geng preman"nya wilayah situ. Aamiin semoga makin banyak yang sayang sama kesenian tradisi.
DeleteDulu temen-temen kuliahku yang pada suka nari ikut les disini...dan memang keren sih masih kokoh dan terus berkarya hingga sekarang
ReplyDeleteAlhamdulillah ternyata memang Sobokartti menarik minat anak-anak buat belajar kesenian daerah yaaa
DeleteMupeng pengen kemari mba Wind😍
ReplyDeleteSemakin ditelisik semakin cinta ya ama tanah air kalo wisata sejarah gini
Iya, kalau nggak kenal (betul-betul) susah sayangnya. Weits.. hihi
Delete