Pesan Bu Guru BP kami. |
Tapi bukankah pertemuan itu mendekatkan nurani? Bertemu kawan lama bisa juga menjadi “obat seger” dari rutinitas yang membuat kita kehilangan spontanitas. Apalagi teman-teman sekolah adalah teman-teman di masa kita masih muda, bergairah, dan menganggap masalah hidup terberat adalah ketika di atas rapor ada nilai 5, atau baru ditolak gebetan.
Itulah mengapa acara reuni masih menjadi agenda yang ditunggu-tunggu.
Di setiap reuni, selain bertemu dengan teman-teman, kadang ingin juga hadir sosok yang tak bisa dipisahkan dari sejarah kita bersekolah, yaitu Bapak dan Ibu guru. Guru memang sosok yang selalu mengesankan, bahkan meskipun jika waktu itu kenangan yang tercipta bukan kenangan yang melulu indah.
Begitu, ya, Mbak Relita dan Mbak Yuli, dua orang blogger dengan tutur halus yang membuat saya memikirkan kembali tentang sosok guru-guru saya. Begitu banyak yang bisa diceritakan, tapi saya memilih tentang hal yang satu ini.
Bapak mertua saya adalah seorang guru. Dan setiap kali saya pulang mudik lebaran, undangan untuk menghadiri reuni bertumpuk di atas meja. Beliau selalu bersemangat untuk hadir, meskipun dalam kondisi yang kurang sehat, atau meskipun di rumah masih banyak saudara dan tamu. Bertemu dengan murid-murid, ternyata adalah hal yang juga menyenangkan bagi beliau. Meskipun seringkali pertemuan murid dan guru ini hanya terbatas pada reuni. Kesempatan yang hanya bisa terulang sekian tahun kemudian.
Entah pada pertemuan yang mana, beberapa teman saya semasa SMA mencetuskan ide yang, sesungguhnya tidak baru, tapi keren. Sebuah program untuk memberikan sumbangsih kepada guru.
Jika selama ini guru-guru mentok diingat pada saat reuni, bagaimana kalau kita memberikan perhatian khusus kepada para guru ini, tidak hanya setahun sekali, atau bahkan sepuluh tahun sekali. Tergantung seberapa sering angkatan kita reuni.
Berkat keberanian dan kenekadan teman-teman yang didukung oleh teman-teman (hampir) satu angkatan di SMA, maka lahirlah: Celengan. Ada beberapa orang yang menjadi “pengurus” celengan, dengan dukungan teman-teman seangkatan yang berada di dua grup Whatsapp. Seperti namanya, celengan ini serupa dana sosial, isinya bersumber dari teman-teman satu angkatan di SMA Negeri 3 Solo. (Duh, sebutin angkatannya nggak yaaa…)
Salah satu program utama Celengan adalah: Sowan Guru. Alias datang ke rumah-rumah guru-guru kami, terutama adalah guru yang mengajar selama periode kami bersekolah.
Program sowan guru ini tidak sekedar menjalin hubungan yang telah lewat belasan tahun, tapi juga berusaha mendata tentang kondisi terkini pamong kami semasa remaja itu, dan apakah diantara guru-guru kami ini, ada yang memerlukan sesuatu yang bisa kami haturkan.
Mencari data guru, ternyata tidak mudah juga. Dengan bantuan beberapa guru yang masih aktif mengajar, kami dapat juga kontak berupa nomor telepon dan alamat rumah. Guru-guru kami ini juga memiliki semacam paguyuban guru, rutin bertemu secara berkala. Apakah waktu berkumpul itu para guru membicarakan kami juga para muridnya, entahlah. Hehe.
Ujung tombak sowan guru tentunya teman-teman yang masih berdomisili di Solo. Tentu saja karena sebagian besar guru-guru kami juga masih tinggal di sana. Beberapa kali sowan guru juga dijadwalkan jika ada teman yang sedang mudik. Intinya kami mendatangi rumah guru-guru kami (ada juga beberapa yang ditemui di tempat mengajar), untuk bersilaturahim. Syukurlah, setelah lebih dari dua puluhan guru kami temui, semuanya memberikan kesan positif.
Sowan Pak Koes, ngobrol diantara rumus-rumus fisika |
Saya, baru berkesempatan ikut satu kali. Bersama dua orang sahabat mendatangi seorang guru Fisika yang tentu saja waktu saya SMA, bukan guru favorit saya karena pelajarannya waktu itu bikin pusing. Beliau saat ini sudah pensiun, tapi masih aktif mengajar ilmu Fisika, membuka les, dan mempersiapkan anak-anak sekolah yang akan mengikuti olimpiade.
Bapak Koesmanto, guru fisika saya itu, masih sama seperti terakhir kali saya mengingat beliau.
Ketika bertemu. langsung terbayang ketika menuliskan rumus-rumus fisika dengan begitu cepatnya di papan tulis. Ketika saya cuma menatap dengan nanar karena tidak bisa mengikuti penjelasannya yang kalau diingat-ingat lagi, sebetulnya sangat runut. Saya ingat Bapak Koesmanto lengkap dengan kacamata yang agak melorot, dengan sorot mata yang mengingatkan saya pada Einstein. Hanya kali ini rambutnya lebih banyak yang memutih.
Tentu saja Pak Koes, begitu beliau dipanggil, tidak mengingat saya. Saya bukan murid yang menonjol di bidang fisika, selain pernah jadi penulis kelas yang menuliskan lembar-lembar catatan fisikanya di papan tulis. Tapi pak Koes menyebutkan nama beberapa teman seangkatan saya, yang salah satunya sekarang jadi dosen di ITB.
Pembicaraan dengan pak Koes, yang tidak terbayang bisa saya lakukan belasan tahun yang lalu, ternyata menyenangkan. Saya lupa waktu itu nge-teh atau tidak, tapi dalam gerimis hujan, saya tahu, bahwa seorang guru yang benar-benar mencintai profesinya, sampai puluhan tahun kemudian tidak akan pernah kehilangan semangat. Beliau hidup, meski tidak lewat dirinya, tapi juga hidup lewat harapan-harapan yang beliau titipkan pada murid-muridnya.
Salah satu harapan pak Koes yang jadi nyata, tentu saja ketika mengenang teman saya, yang kini menjadi dosen di universitas ternama itu. Dalam hati kecil saya berharap, pak Koes juga bisa merasa bangga untuk saya, yang tidak pernah dapat nilai 10 dalam pelajaran fisika, dan kini tidak ingat lagi tentang teori Newton atau gelombang elektromagnetik. Barangkali iya, tapi tak bisa terungkap lewat bahasa Fisika.
Pada waktu reuni SMA yang kami adakan tahun 2016 pada musim mudik lebaran, kami juga mengundang guru-guru kami sebanyak yang kami bisa. Lokasinya di sekolah, yang sudah berubah 80% dari sejak kami meninggalkannya. Ada beberapa guru yang urung datang karena meskipun sudah akan dijemput, menolak karena enggan merepotkan. Ah, sampai kapanpun guru-guru adalah sosok yang tak ingin membuat repot siapapun.
Di acara reuni itu kami bercerita tentang program sowan guru dan menyampaikan permohonan maaf jika ada guru-guru yang belum sempat kami sowani. Ketika acara selesai, seorang guru kami, yang jujur saja tadinya saya tidak ingat mengajar apa, mendekati saya. Beliau berkata sambil tersenyum: “Mbak, saya ini belum pernah didatangi, lho.”
Beliau adalah Bapak Sri Santoso, guru olahraga kami. Dalam waktu singkat kami berupaya supaya teman-teman yang masih ada di Solo untuk liburan lebaran itu bisa mengatur waktu kunjungan ke rumah Bapak Sri Santoso. Seperti biasa, setelah kunjungan, teman-teman memberikan “laporan” yang secara umum berisi kondisi kesehatan, kondisi keluarga, dan sejauh apa kami bisa menyampaikan titipan untuk beliau.
Tentunya kami bahagia dan lega jika para guru dalam kondisi sehat dan tak kurang suatu apa. Tapi guru-guru kami ini, dalam berbagai kondisi, secara garis besar tidak menyampaikan keluhan apapun .
Takdir Allah, tak lama setelahnya, kami mendengar kabar bahwa Bapak guru kami itu meninggal dunia.
Seorang guru matematika kami yang sangat disegani, juga kami dengar kabar sedonya, tak lama setelah “Celengan” sempat sowan ke ndalem beliau. Beliau dalam kondisi sehat, dan sedang berolahraga ketika Allah memanggil. Kami selalu mengenang beliau karena tak banyak dari kami yang berhasil lolos dalam ulangan mingguan matematikanya. Saya pribadi sepertinya cuma lolos satu kali. Bahkan untuk mendapatkan nilai tujuh saja, sulitnya bukan main.
Ketika menyadari begitu banyak guru-guru kami dipanggil Allah, kami bersyukur bahwa kami sempat sowan. Bapak dan ibu guru kami ini, tentunya telah berpuluh tahun mengabdi menjadi pendidik. Tidak hanya mengajar, tidak hanya menjejalkan rumus-rumus ke kepala kami yang penuh dengan rencana dolan dan colut. Bapak dan ibu guru kami juga semakin tua. Seperti juga kami, yang meskipun selalu berasa masih pakai seragam putih dan abu-abu, kini juga telah menderita encok, dan tak kuat begadang.
Dalam waktu sowan yang demikian singkat, kami ingin menyelipkan sedikit kenangan kepada bapak dan ibu guru tentang kami. Bahwa murid-muridnya yang tak seberapa pandai, dan selalu merepotkan ini, meski barangkali cuma sekali ini sempat bertemu, kami ingat.
Pesan Pak Hartadi |
Tak banyak yang kami bawa. Barangkali hanyalah sekotak roti, selembar kain, atau sekeranjang buah. Tapi sungguh banyak yang kami dapatkan. Di akhir pertemuan selalu kami minta bapak dan ibu guru ini menuliskan pesannya untuk kami. Dan diantara pesan-pesan itu selalu terselip doa untuk kesuksesan kami semua.
Semua guru, tetap memandang kami sebagai murid-muridnya sekian belas tahun yang lalu. Semuanya selalu menitipkan pesan dan doa, supaya kami semua menjadi orang yang berguna. Tak ada yang mengingat kemarahan, tak ada yang tidak membuat kami menjadi semakin tidak bersyukur.
Pesan Pak Darsono, guru Sosiologi |
Teman-teman yang sempat sowan, sesudahnya selalu menyampaikan kisah yang indah. Selalu ada hal baru yang kami dapatkan. Sampai kapanpun kami adalah murid yang selalu belajar.
Sowan guru juga mendekatkan kami, anak-anak lulusan sebuah SMA yang jumlahnya ratusan, yang dulu nge-geng dan tak begitu kenal satu sama lain. Ada banyak kondisi yang membuat mengurusi Celengan dan tetek bengeknya membuat kami seperti benar-benar kapok, musuhan, pundung, mutung, dan marah. Tapi kami seperti segerombolan landak yang ingin tetap hangat karena dekat, meski kadang kecubles duri.
Saya pribadi jadi lebih mengenal teman-teman SMA saya, yang dulu bahkan tidak tahu kelas apa, rumahnya di mana, kuliah di mana. Seorang pemilik perusahaan di Solo mau blusukan ke pasar untuk belanja kelengkapan warung di rumah guru yang dibuka lewat program Celengan ini. Atau teman yang lain yang mau manjat-manjat demi memasang rak dan spanduk untuk warung pak guru.
Saya juga cuma bisa menyemangati lewat grup WA, teman-teman yang menempuh hujan badai, literally, untuk sampai ke rumah guru-guru kami. Saya juga jadi tahu, cerita-cerita teman-teman tentang guru-guru kami ini yang tak se-cetek kisah saya. Saya cuma bisa terharu bahwa pada masa sekian belas tahun yang lalu, ada teman-teman yang benar-benar menjadikan kehadiran para guru ini sebagai orang tua. Dan kedekatan antar mereka tak sekedar dihubungkan pada lembar-lembar kertas ulangan.
Begitu banyak yang kami dapatkan, hingga sadar sepenuhnya bahwa Celengan dan “Sowan Guru”nya, bukanlah persembahan dari kami, tapi adalah sesuatu yang kami dapatkan.