Masinis Kereta Api Jaladara |
Namun dalam sekilas pandangan mata, ada rangkaian kereta yang tak biasa terparkir di ujung Barat, di belakang dua lokomotif tua yang telah terparkir bertahun lamanya. Petugas tampak sedang mempersiapkan kereta untuk menempuh perjalanan hari itu. Tumpukan kayu jati memenuhi ruangan di lokomotif, siap menjadi bahan bakar rangkaian si Kereta Uap. Lokomotif bernomor C1218 buatan pabrik lokomotif Hartmann Chemnitz itu hitam legam. Asap keabuan mengepul dari cerobongnya.
Itu adalah rangkaian kereta api Jaladara. Di Solo dia punya nama baru: Sepur Kluthuk Jaladara
Bahan bakar kereta api, kayu jati afkiran. |
Serombongan orang dengan syal batik tersampir di
leher memasuki stasiun. Mereka adalah calon penumpang Jaladara pagi hari itu. Senyuman
terkembang di wajah, dan ponsel pintar mereka tak henti mengambil gambar. Naik kereta
barangkali bukan sesuatu yang baru. Tapi naik kereta Jaladara, adalah
pengalaman yang jarang bisa diulang.
Jaladara akan melaju di sepanjang rel di jalan
Slamet Riyadi, urat nadi kota Solo, mulai dari Stasiun Purwosari hingga stasiun
Solo Kota di Sangkrah. Di sepanjang perjalanan sejauh 5,6 kilometer ini, Jaladara bisa
berhenti di beberapa titik. Biasanya lokasi yang dipilih adalah tempat-tempat yang memiliki nilai
sejarah dan tradisi seperti Loji Gandrung (rumah dinas walikota Solo), Museum
Radya Pustaka, dan Kampung Batik Kauman.
Jaladara menjadi satu-satunya kereta
uap di dunia yang melaju di tengah kota.
Suasana gerbong CR44. Ini adalah gerbong dengan model kursi saling berhadapan dengan kapasitas 36 kursi saling berhadap-hadapan | . |
Dua buah gerbong Jaladara terbuat dari kayu jati asli, buatan Belanda pada tahun 1906. Dua gerbong itu adalah gerbong CR16 dengan kapasitas 40 kursi,
dan gerbong CR44 dengan kapasitas 36 kursi. Bahan bakar
kereta Jaladara adalah 5 meter kubik kayu jati dan 4 meter kubik air. Kayu dan
air akan menghasilkan uap yang menggerakan lokomotif di sepanjang perjalanan. Nanti di Stasiun Solo Kota, kereta akan langsir, dan mengisi "bahan bakar" yaitu air. Proses ini memakan waktu kurang lebih 15 menit.
Proses pengisian "bahan bakar" berupa air di lokomotif Jaladara |
Nama Jaladara diambil dari kisah Prabu Kresna yang mengendarai kereta Kyai Jaladara, kereta milik Bethara Wisnu yang ditarik empat ekor kuda putih dalam perang Bharatayudha. Setelah sekian tahun tidak digunakan, pada tahun 2009 akhirnya lokomotif seberat 45 ton beserta dua gerbongnya dipindahkan dari stasiun Ambarawa dengan truk trailer ke kota Solo, rumahnya yang baru. Pemerintah kota Solo, yang waktu itu dipimpin oleh bapak Joko Widodo, bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) untuk “menghidupkan kembali” Jaladara.
Seorang masinis Sepur Kluthuk Jaladara yang telah bekerja di KAI sejak tahun 1974 bercerita dulu pernah menjadi masinis kereta ini, melayani tujuan Semarang – Solo – Yogyakarta. Namun kemudian jalur tersebut ditutup. Kini beliau ditugaskan untuk menangani Jaladara saat beroperasi sebagai kereta wisata.
Memang tak banyak orang yang mampu mengoperasikan kereta Jaladara. Seperti dalam hal perbaikan bagian-bagian mesin dan roda, yang sangat mungkin harus dilakukan selama perjalanan singkat selama kurang lebih 2,5 jam. Karena itu, saat sedang dioperasikan, Jaladara dikawal oleh beberapa petugas senior selain oleh petugas yang lebih muda. Dengan demikian transfer pengetahuan tentang Jaladara dapat terus berjalan.
Kereta api, sebelum ada bis dan dibukannya
jalan-jalan baru adalah alat transportasi rakyat yang sangat penting. Jalur-jalur
kereta api Indonesia tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera telah
ditempuh oleh puluhan rangkaian kereta untuk mengantarkan masyarakat ke
berbagai tujuan. Sejak jaman Belanda hingga kini, kereta api memiliki peran
besar dalam transportasi massal di Indonesia.
Tapi bukan cerita baru jika sesuatu yang telah
tua akan terkalahkan dengan dengan yang lebih baru dan muda. Sesuatu yang muda
biasanya hadir dengan fitur yang lebih canggih, lebih cepat, dan tampak lebih
keren. Sementara yang tua akan menjadi begitu lambat, mahal perawatannya, dan
tak lagi bisa mengikuti zaman. Zaman menghendaki sesuatu yang lebih canggih dan
cepat.
Begitupun dengan kereta api.
Lokomotif kereta api Jaladara, dirawat oleh generasi tua dan muda |
Di Balai Yasa, yang berfungsi sebagai bengkel
kereta api, terparkir lokomotif dan gerbong-gerbong tua. Bahkan akhirnya Balai Yasa
juga menjadi pemberhentian akhir gerbong dan lokomotif yang tak lagi bisa
diperbaiki. Tak jarang bagian-bagiannya “dikanibalisme” untuk memperbaiki
kereta lain yang masih beroperasi. Begitulah sepertinya nasib kereta tua.
Lokomotif C1218, dibuat di Belanda |
Tetapi beroperasinya kereta Jaladara di kota Solo
membantah semua cap nasib kereta tua yang terpinggirkan. Semua orang terpesona
dengan kehadiran kereta yang berumur lebih dari seabad itu. Orang-orang melirik,
melambaikan tangan, dan berebut untuk berfoto dengan Jaladara.
Di negara-negara Eropa, lokomotif dan kereta tua
justru sangat dihargai. Perawatan lokomotif,
juga rel-rel yang dilalui dilakukan secara serius. Pemeliharaan kereta tua
memang tak mudah, dan seringkali jauh lebih mahal.
Tetapi segala upaya akan mendapatkan imbalan dari
manfaat yang didapatkan. PT KAI dapat memberikan sumbangsih nyata untuk
kelestarian sejarah dan kemajuan pariwisata, melalui kereta-kereta tua.
Diantara gencarnya kemunculan kereta api yang
canggih dan berlomba-lomba menjadi yang tercepat, masih banyak pihak-pihak yang
mau berjalan perlahan sambil menikmati hembusan angin dari jendela kereta yang
terbuka. Di masa kini naik kereta api tidak sekedar mengantarkan, tetapi
memberikan pengalaman.
Gerbong CR16 dengan kapasitas 40 kursi di sisi kanan dan kiri yang menghadap ke depan |
Pepatah mengatakan: Old ways wont open new doors.
Tapi jika kita tahu kemana tujuan kita, yang lama
akan membuka pintu-pintu masa depan baru yang tidak diduga. Adalah tugas PT KAI dan juga masyarakat untuk berupaya menjadikan aset bangsa bahkan benda cagar budaya seperti lokomotif-lokomotif tua untuk berperan dalam pembangunan di masa depan. Bukan hanya sekedar
upaya pelestarian, tetapi juga menjadikannya penggerak masa depan yang mendampingi kebaruan. Kereta tua bisa menjadi penyeimbang kecepatan laju perkembangan zaman, dan menjadi
tambatan kerinduan.
Sejak dulu kereta api adalah pembuka jalan. Dengan
kreativitas dan cinta, cara lama justru akan menjadi cara baru yang menarik
minat banyak orang. Bukan berarti yang tua menjadi tidak layak menjadi bagian
dari masa depan. Memang untuk mengoperasikan kembali kereta-kereta tua membutuhkan pendekatan yang berbeda dibandingkan kereta baru yang canggih. Diperlukan usaha yang tak kenal lelah, dan dukungan dari perbagai pihak.
Kereta tua tidak mungkin melaju lebih cepat, tapi
bisa melajut dengan khidmat. Kereta tua tidak bisa berjalan jauh, tapi memberikan
nuansa perjalanan yang teduh. PT KAI memiliki banyak punggawa sakti yang kini
tertambat di museum kereta dan Balai Yasa. Sudah saatnya “membangunkan” yang
tua untuk turut ambil bagian dalam masa depan Kereta Api Indonesia.
Yang tua, tidak hanya bagian dari sejarah, tetapi
mampu turut andil menciptakan masa depan. Seperti Jaladara, kereta tua yang siap menjadi bagian masa depan kereta api Indonesia.
Stasiun Solo Kota, tempat Jaladara mengisi bahan bakar, dan langsir sebelum kembali ke stasiun Purwosari |