Nh. Dini, di kediamannya |
Nh. Dini menerbitkan karyanya pertama kali pada tahun 1956 yaitu sebuah kumpulan cerita pendek berjudul “Dua Dunia”, diterbitkan oleh NV Nusantara, Bukittinggi. Lima tahun sebelumnya, Nh. Dini sudah menulis sajak dan prosa berirama yang dibacanya sendiri di RRI Semarang. Kala itu tahun 1951 yang berarti usia Nh. Dini sekitar 15 tahun.
Karya cerita kenangan adalah semacam otobiografi Nh. Dini. Yang berbeda dari kebanyakan kisah tentang diri sendiri yang dibukukan, Nh. Dini tidak hanya menampilkan hal-hal baik dari kehidupannya, melainkan semua kisah berusaha ditampilkan secara utuh agar kita dapat mengambil pelajaran di dalamnya.
Buku cerita kenangan Nh. Dini diterbitkan pertama kali pada tahun 1978, berjudul “Sebuah Lorong di Kotaku” oleh Dunia Pustaka Jaya, sebelum akhirnya diambil alih dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Berikut adalah daftar karya Nh. Dini untuk cerita kenangan (saja).
1. Sebuah Lorong di Kotaku: 1978
2. Padang Ilalang di Belakang Rumah: 1979
3. Langit dan Bumi Sahabat Kami: 1979
4. Sekayu: 1981
5. Kuncup Berseri: 1982
6. Kemayoran: 2000
7. Jepun, Negerinya Hiroko: 2000
8. Dari Parangakik ke Kampuchea: 2003
9. Dari Fontenay ke Magallianes: 2005
10. La Grande Bourne: 2007
11. Argentuil, Hidup Memisahkan Diri: 2008
12. Pondok Baca; Kembali ke Semarang: 2011
13. Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang: 2012
14. Dari Ngalian ke Sendowo: 2015
Saya rasa hampir tak ada rahasia yang Nh. Dini simpan tentang kehidupannya. Buku serial cerita kenangan yang pada saat tulisan ini dibuat sudah mencapai 14 buku, bagaikan lembar-lembar hidupnya yang terbagi untuk siapapun yang membaca. Di luar itu, ada puluhan karya lainnya yang berwujud novel, cerpen, cerbung, artikel, dan lainnya tersebar di aneka media.
Waktu akan berjumpa Nh. Dini untuk pertama kalinya, saya sempat resah karena merasa “mengenal” beliau dari cerita-ceritanya di buku serial kenangan. Rasanya seperti akan ketemu dosen pembimbing. Dan lagi ditambah cerita awal perjumpaan kami yang begitu deg-degan dan berkesan. (Bisa dibaca di blog ini tulisannya) Saya berubah jaim, bersopan-sopan, dan mematut-matut diri sungguh-sungguh ketika pertama kali akan ketemu. (Bukan berarti pertemuan berikutnya saya bersikap seenaknya saja, tapi kemudian saya menjadi tidak terlalu tegang lagi.)
Layaknya fans, saya jejingkrakan waktu kemudian mendapat sms dari Nh. Dini. Isi smsnya adalah undangan untuk sowan ke rumahnya. Saya ingat banget waktu itu di-smsm pas lagi acara 17-an di komplek. Waktu akhirnya sowan (bareng Arti Ahmad), juga rada norak-norak bergembira pakai foto-foto seperti di anjungan wisata. (Duh, punten, Eyang) Sekalian disclaimer, saya akan menuliskannya kadang Eyang, kadang Nh. Dini. Hehe.
Saat ini waktu buku cerita kenangan Nh. Dini yang ke-15 sedang ditulis, saya ingin berbagi cerita dari sedikit yang pernah saya alami ketika berjumpa dengan beliau. Dan mengapa saya mengatakan bahwa beliau adalah salah satu penulis favorit saya.
Kaya Pengalaman Batin
Pada usia dua puluh tahun Nh. Dini sudah bekerja di kantor Garuda Indonesia Airways di Kemayoran, di tahun 1960 menikah dengan Yves Coffin, yang beliau kenal karena pekerjaannya juga. Selepas itu langsung mengikuti pekerjaan suaminya ke berbagai negara. Nh. Dini sempat tinggal di Jepang, Kamboja, Perancis, Filipina, Amerika Serikat, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Hal ini membuat Nh. Dini mengalami berbagai peristiwa, mengenal banyak manusia dari berbagai budaya, yang memperkaya batinnya.
Rajin Mencatat
Eyang selalu berkata kalau beliau memiliki “ingatan istimewa”. Jadi aneka peristiwa yang pernah beliau alami, dapat diputar kembali bagaikan adegan dalam film. Namun selain itu Eyang juga memiliki catatan-catatan yang tersebar rapi di bukunya, dan kini juga di dalam gawainya. Menyerap apa-apa yang dilihat menjadi kenangan rapi yang tinggal dibongkar sewaktu-waktu diperlukan.
Runtut, dan detail, adalah bahasa Nh. Dini dalam menuliskan karyanya. Nh. Dini pernah berujar, “Saya tidak mengarang, karena semua yang saya tuliskan itu adalah berdasarkan ingatan dan pengamatan sehari-hari.”
Murah Hati
Hidup sebagai penulis terkenal, memenangkan aneka penghargaan di dalam dan luar negeri, bukan berarti Nh. Dini hidup berkelimpahan harta. Tapi Eyang adalah sedikit dari penulis yang memang hanya menggantungkan rejekinya lewat jalan menulis. Jika diundang sebagai pembicara, pasti karena kiprahnya juga dalam dunia kepenulisan. Penghasilan Eyang sebagai penulis (saja) tidaklah dapat dibilang memadai untuk menunjang kehidupannya. Apalagi pamor buku di semakin menurun belakangan ini.
Tetapi rejeki memang tidak dapat diduga datangnya. Dan itu sangat Eyang yakini. Pada masa-masa beliau sakit, dan tidak sanggup membiayai pengobatannya sendiri, uluran tangan dari teman-teman Eyang sangat membantu. Kini anak-anaknya, dan bahkan putranya, Pierre, juga telah berhasil dengan “Minion”-nya.
Saya percaya, hal ini karena benih-benih yang telah ditabur, dan Allah yang menjatuhkan tempo kapan akan dituai. Nh. Dini adalah sosok yang murah hati. Perpustakaan yang Nh. Dini bangun berupa Pondok Baca di Sekayu, di Sendowo, sebagian besarnya dibangun atas biaya sendiri. Seringkali juga saya mendapati beliau selalu berbagi (bukan hanya menyisihkan) setiap rupiah yang beliau dapat untuk orang lain.
Selalu Mau Belajar
Berkat itu pula saya rasa, Eyang tidak mudah menjadi pikun. Pikirannya tajam karena terus terasah. Ini saya alami sendiri ketika ‘memandu’ Eyang dengan gawai barunya. Di usia 81 tahun, Nh. Dini nyaris tak kesulitan mengoperasikan gawai android. Ini rekor, karena saya di waktu yang bersamaan mengajari orang lain yang 30 tahun lebih muda usianya, tapi rasanya kok sulit.
Eyang hingga kini masih mengetik dan mengirim sendiri semua email-emailnya. Meski karena keterbatasan fisik, Eyang hanya diperkenankan dokter untuk berada di depan komputer beberapa jam per-harinya.
Mencintai Alam
Di sebelah kiri adalah kamar Nh. Dini, dan di pojok itu adalah taman asri karya beliau |
Menyayangi Keluarga
Jika ada yang pernah menuliskan bahwa hubungan Nh. Dini dengan anak-anaknya kurang baik sehingga harus tinggal sendiri, itu tidaklah benar. Eyang tinggal di Indonesia atas keinginan beliau sendiri. Komunikasi Nh. Dini dengan kedua anaknya, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang, juga dengan cucu-cucu tercinta sangatlah dekat. Beberapa kali saya mendapati Eyang mengirimkan aneka oleh-oleh makanan khas Indonesia, seperti abon dan terasi, ke Perancis untuk Padang. Hubungan Eyang dengan kakak-kakak perempuannya yang masih tinggal di Sekayu juga sangat dekat. Hampir setiap minggu Eyang mampir ke Sekayu, atau setidaknya mengirimkan “oleh-oleh” sebagai wujud perhatian kepada keluarga.
Masih banyak sesungguhnya yang ingin saya tuliskan tentang Nh. Dini. Barangkali nanti di episode lain dalam blog ini aja.
Penulis yang baik, yang telah berhasil mewujudkan karya-karya luar biasa memang banyak. Tapi karena saya kurang gaul, tak banyak yang cukup betulan saya kenal. Sungguh beruntung saya dapat berbincang dan belajar banyak dari beliau. Tidak hanya urusan menulis, tetapi juga masalah kehidupan sehari-hari.
Karya Nh Dini: "Pangeran Dari Seberang" biografi penyair Amir Hamzah yang diterbitkan kembali |