Hati
manusia akan mudah tersentuh oleh kisah. Seperti juga aneka kisah dalam buku, yang
bisa membuat kita tertawa, marah, dan sedih hanya dengan membacanya. Tak jarang
kisah-kisah dalam buku, baik itu nyata ataupun tidak, menjadi inspirasi kita dan
terbawa dalam kehidupan kita sehari-hari. Seperti tema dari Mbak
Vita http://www.pusvitasari.com
seorang blogger yang aktif dan rajin, juga mbak Anita di http://www.makarame.com
seorang blogger yang juga pembuat aneka kerajinan daur ulang.
Dari
sedikit buku yang pernah saya baca, saya memilih buku ini. Buku berjudul: “Totto-chan’s Children, A Goodwill
Journey to the Children of the World” yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi: “Anak-anak Totto-chan, Perjalanan Kemanusiaan untuk
Anak-anak Dunia”
Buku
ini ditullis oleh Tetsuko Kuroyanagi, atau lebih kita kenal sebagai Totto-chan dalam bukunya yang mungkin lebih dikenal orang: “Totto-chan, Gadis
Cilik di Jendela”. Kisah Totto
chan di sekolahnya yang begitu manis dan lucu, sangat membekas di hati saya. Meskipun
ada derita yang terselip karena perang dunia ke-2 yang Totto alami pada waktu
itu, tetapi cerita kelas di dalam gerbong kereta, berenang, makan bersama, sungguh
menginspirasi saya, dan membuat saya pernah bermimpi punya sekolah seperti itu.
Buku Tetsuko yang lebih dikenal. |
Tapi saya memilih buku yang
lain. Buku Totto-chan yang saya kenal sebagai anak
Jepang yang lucu yang sekolahnya begitu mengagumkan, ketika menjadi Duta
Kemanusiaan UNICEF selama kurun waktu 1984 – 1997.
"Di negara-negara yang mengalami kekeringan hebat atau terkena dampak perang, anak-anak yang sebenarnya masih polos dan tak berdosa selalu jadi korban. Ternyata masih banyak sekali anak-anak dunia yang tidak bisa makan, tidak bisa sekolah, tidak bisa dirawat ketika sakit, bahkan mengalami trauma hebat akibat perang."
“Orang
dewasa meninggal sambil mengerang, mengeluhkan rasa sakit mereka. Tapi
anak-anak hanya diam. Mereka mati dalam kebisuan, di bawah daun-daun pisang,
memercayai kita, orang-orang dewasa.”
Kata-kata
seorang kepala desa di Tanzania pada Tetsuko Kuronayagi atau lebih dikenal
sebagai “Toto Chan” sangat membekas dan tak pernah dapat dia lupakan.
Buku Tetsuko, (sepertinya memang lebih enak disebut Totto chan) yang ini, menuliskan kisah-kisah yang memilukan. Sangat sedih. Ketika saya
pertama kali membacanya di tahun 2010, seketika saya merasa malu pada diri saya
sendiri. Karena (ini disclaimer), buku ini penuh derita. Man! Dunia bisa demikian
kejamnya pada sosok-sosok kecil mungil bernama anak-anak. Allah tentu akan
menghadirkan kebahagiaan bagi mereka kelak di akhirat, tapi di dunia ini,
kisah-kisah anak-anak itu, sesungguhnya adalah pelajaran yang nyata bagi saya.
Saya akan bercerita tentang buku ini dalam konteks bersyukur. Karena sungguh saya sadari, karena begitu lebaynya, kadang saya merasa bahwa hidup ini penderitaan. Hari-hari dilalui dengan keluh kesah. Padahal setelah membaca buku ini, saya seperti 'digaplok', yang saya aku-aku sebagai 'derita' itu, tidak ada apa-apanya, bahkan tak patut disebut derita.
Buku
ini perlu dibaca, dan dibaca lagi. Kapanpun saya lupa hingga kurang bersyukur,
betapa baiknya nasib saya dibandingkan anak-anak di sana.
Ijinkan saya membaginya sedikit. Betapapun sederhana, dan sungguh hanya pelajaran kecil dari dalamnya masalah hidup yang anak-anak itu alami.
Hargailah air bersih walau
seteguk saja.
Anak-anak
di Tanzania pada puncak kekeringan yang parah bisa mengalami setahun atau
bahkan lebih tanpa hujan. Untuk mendapatkan secangkir air berwarna kecoklatan
seperti susu mereka harus berjalan hampir 5 kilometer, (ada yang lebih dari 15
kilometer) dan menanti selama berjam-jam. Mereka harus bekerja sedemikian keras
untuk hal yang dengan mudahnya kita sisakan lalu dibuang dari gelas air minum kita.
Meski
dalam keadaan begitu kekurangan, mereka, anak-anak itu tetaplah murah hati, tertib mengantri, dan bahkan membagi
tetes air berharga itu untuk Totto-chan yang datang berkunjung.
Bersyukur dengan tubuh yang sehat
"Aku belum pernah melihat anak sekurus ini, ia harus berjalan dengan segenap tenaga." |
Di
Etiopia, tahun 1992, saat Totto-chan berkunjung kesana, ada begitu banyak
pengungsi, sementara makanan sangat terbatas. Anak-anak baru akan mendapat
jatah makanan hanya jika berat badannya kurang dari 70 persen standar berat
untuk umur dan tinggi badannya. Misalnya seorang bayi seharusnya berat badannya
5,5 kg, tetapi beratnya tidak sampai 4 kg akan menerima jatah.
Setelah
ditimbang, mereka akan memakai gelang kertas sebagai penanda untuk mengambil
jatah makanan di tenda berikutnya. Jatah makanan ini jangan dibayangkan seperti
posyandu di Indonesia, yang setidaknya ada menu buah, bubur kacang hijau,
bahkan kadang nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk. Di sana anak-anak itu
mendapat campuran tepung gandum, tepung jagung, tepung kedelai dan air sungai
yang direbus sampai menjadi bubur yang encer.
Jika
anak-anak itu kemudian esok berat badannya sedikiit saja di atas 70% dari
standar, maka berarti esok meraka harus kelaparan, karena tak ada jatah bubur
yang encer itu untuk mereka.
Dengan berat tubuh jauh dari kriteria sehat seperti itu, anak-anak menjadi tidak punya energi. Jangankan untuk berjalan atau bermain, untuk sekedar mengangkat kepala saja sudah kepayahan.
Di
sini, saya sendiri, sudah kelabakan jika angka di timbangan sedikiit saja
bergeser ke kanan. Kurus menjadi idaman. Tubuh yang semakin melebar menjadi
sumber depresi. Sehingga lupa mensyukuri bahwa tubuh yang sehat ini adalah
anugerah.
Bersyukur dengan Hidangan di Atas
Meja
Sesederhana
apapun menu makanan kita, tentu masih lebih baik dibandingkan dengan apa yang
anak-anak yang dikunjungi Totto-chan. Anak-anak
di Etiopia makan bubur encer (yang bahkan tidak tiap kali mereka dapatkan). Kekurangan gizi terjadi di mana-mana. Tak sepatutnya saya berkeluh hanya jika suatu waktu makanan yang terhidang kurang cocok dengan selera. Sungguh tak pantas.
Senanglah dengan Belajar
Seringkali,
belajar di sekolah, di kampus, di manapun, dianggap menjadi kewajiban dan
beban. Karena tantangan sedikit saja, seperti tugas yang dirasa banyak, guru yang sepertinya galak, sudah membuat malas, mogok, dan seterusnya.Semua
hanya karena alasan-alasan yang tidak sebanding dengan manfaat yang didapat dari berjuang untuk mendapatkan ilmu.
Dari cerita Totto-chan dalam kondisi perang dan serba kekurangan, anak-anak tidak bisa bersekolah dengan layak. Di sekolah dasar di Tanzania, anak-anak bahkan kebingungan ketika diminta untuk menggambar binatang. Padahal mereka tinggal di Afrika, tempat yang kita tahu ada gajah, jerapah, dan aneka satwa liar lainnya. Hanya ada satu anak yang menggambar lalat. Dan anak-anak lainnya hanya menggambar ember, cangkir, dan benda sejenisnya. Tidak ada kebun binatang, televisi, bahkan sekedar buku gambar.
Di Bangladesh anak-anak hanya memiliki sedikit waktu untuk bersekolah karena mereka harus bekerja. Di sini saya tidak harus berjibaku dengan peluru untuk mencapai sekolah. Di sini sarana belajar dari buku, televisi, internet, mudah didapatkan. Mengapa malas belajar?
Bersyukurlah tinggal di negeri
yang damai, dan berusahalah tetap menjaganya!
Salah
satu yang paling membuat saya ngeri ketika membaca buku ini, bahwa buruknya keadaan anak-anak di
berbagai negara adalah karena konflik yang berkepanjangan. Perang saudara,
perebutan kekuasaan, apapun itu selalu memakan korban, dan yang menderita
adalah anak-anak.
Ditulis
Totto Chan, dari perjalanannya ke Angola pada tahun 1989, betapa konflik telah
begitu kejam. “Anak-anak kecil diikat dengan tali di pohon, dan tentara gerilya
memotong tangan tawanan muda itu dengan golok. Anak-anak ditinggalkan sampai
mati. Yang selamat berakhir sebagai yatim piatu yang cacat, …”
Di
wilayah yang lain, pengungsi anak-anak justru dijadikan alat pendeteksi ranjau
darat. Anak-anak yang yatim piatu akan disuruh berjalan di depan rombongan
pengungsi lain. Tentu saja anak itu akan tewas jika menginjak ranjau yang masih
bertebaran di kawasan konflik, ketika mereka dengan polosnya bangga berjalan di
depan.
Di Bosnia, bom diletakkan di dalam boneka milik anak-anak.
Saya
sungguh bersyukur, tinggal di masa di mana Indonesia begitu damai. Sungguh ingin
bisa tetap menjaganya. Tak pantaslah kita mudah terpancing oleh aneka isu yang
hanya ingin menyulut kebencian dan konflik. Kekerasaan yang mengatasnamakan
apapun itu, saya sungguh berharap tidak terjadi lagi.
Hiks.
Bahkan sekian kali membacanya, air mata tak bisa ditahan, hati saya selalu deg-deg-an. Meski kejadian yang dituliskan Tetsuko sudah belasan bahkan puluhan tahun yang lalu, bukan tidak mungkin masih terjadi di sana atau di tempat lain.
Semoga keadaan sekarang sudah lebih baik dan akan menjadi baik.
(Buat yang ingin baca buku ini, sila cari di tobuk terdekat baik online maupun offline. Boleh juga ke rumah saya untuk dibaca di tempat, atau pinjam dengan deposit yang bikin kapok kalau bukunya tidak dikembalikan. Hehe.)