Kring kring kring ada speda
Spedaku roda tiga
Kudapat dari ayah
Karena rajin bekerja.
Petikan lagu anak-anak gubahan Bu Kasur membawa saya pada kenangan
masa kecil, yang sangat dekat dengan sepeda. Tidak ingat betul sih, kapan
persisnya mulai bisa naik sepeda roda dua. Tetapi waktu usia saya sekitar enam
tahun, terjadi insiden pertama dalam sejarah saya bersepeda. Saya dan sepeda
kecebur got di dekat rumah. Sepedanya kecil, barangkali jenis roda tiga yang
kemudian dilepas roda tambahannya. Gotnya sempit, tapi berlapis semen kasar. Akibatnya
darah mengucur deras dari bagian lengan. Entah persisnya di mana, karena
sekarang tidak saya temukan bekas lukanya.
Pakai sepeda kecil itu juga -bersama
adik laki-laki- saya menciptakan aneka gaya bersepeda. Ada gaya “F*nta”, “Spr*te”,
dan “C*ca-cola”. Kenapa namanya itu? Ya soalnya kalau waktu itu kami diijinkan
minum salah satu dari ketiga minuman bersoda itu, rasanya keren. Gaya “F*nta”
berarti saya duduk di sadel dan kaki mengayuh pedal, sementara adik saya duduk
di stang dan mengendalikan kemudi. Gaya yang lain, adalah kombinasi antara
keinginan keren, iseng, dan nekad
lainnya. Akibat aneka gaya absurd itu berkali-kali kami nyusruk di jalanan. Walaupun
hanya di jalanan depan rumah. Wilayah yang dianggap aman buat sepedaan. Oiya,
meski begitu kami berdua sempat dikejar
anjing.
Selepas melewati masa diantar
jemput sekolah pakai becak, jangkauan wilayah bersepeda saya lebih luas lagi,
dari rumah ke sekolah. Untunglah karena tinggal di Solo, jalanan rata, dan
jaraknya relatif dekat kemana-mana. Tidak seperti di Semarang yang jalanannya
mendaki bukit melewati lembah…
Masa bersepeda ke sekolah dimulai
sekitar kelas empat SD. Sepeda saya sudah di-upgrade jadi sepeda ukuran dewasa. Masih ada lho sepedanya
sekarang. Sepeda itu model cowok, yang gagangnya lurus, bukan model cewek, yang
miring ke bawah. Pernah seorang guru berkomentar soal itu. Tapi toh saya tidak
merasa kerepotan.
Masa-masa ini adalah masa
keemasan saya dan sepeda. Selain ke sekolah, ke warung, main ke rumah teman, les,
pramuka, semua naik sepeda. Teman-teman bersepeda saya ya teman-teman SD yang
rumahnya cukup dekat, masih dalam radius 5 km. Kadang di hari Minggu kami
ampir-ampiran (saling menjemput) lalu bersepeda keliling kota.
Karena jam terbang bersepeda
lumayan banyak, insiden juga mulai terjadi. Kalau sekedar lutut dan sikut baret
sih sudah biasa. Pernah suatu kali paha saya sobek tergores stang. Lumayan yang
ini bekas lukanya masih ada. Alhamdulillah tidak ada pengalaman yang lebih
mengerikan dibandingkan itu.
O iya, jaman itu ada istilah "pajak" sepeda. Semacam stiker yang kudu ditempel di sepeda dan kita kudu beli tiap tahun. Kadang suka ada "cegatan" petugas yang memeriksa apakah sepeda yang lewat sudah ditempel stiker ini atau belum. Pernah saya dan rombongan teman kabur dari "cegatan" macam ini juga. Hihi.
Di antara kisah menyenangkan
dengan sepeda itu, ada beberapa yang sangat membekas buat saya. Salah satunya
waktu saya, dan dua orang sahabat, H dan B, bersepeda ke rumah sakit untuk
menjenguk Yanda. Yanda ini adalah pembina Pramuka di SD kami, yang sepanjang ingatan
saya, sudah sepuh. Kami berangkat naik dua sepeda. Saya lupa siapa membonceng
siapa, tapi yang jelas, waktu pulang hujan turun deras sekali. Sepertinya H
sedang tak enak badan, dan B ini kan pakai kacamata minus. Jadi meskipun mereka
berdua laki-laki, waktu pulang saya memboncengkan H, sambil menggiring B biar
tetap jalan di jalur yang aman. (Ingat nggak ya mereka hehehe)
Bersama ibu dan adik, saya
juga kadang bersepeda keliling kota. Dan end-up
dengan jajan tongseng kambing terenak sepanjang ingatan saya.
Pengalaman deg-degan dengan
sepeda adalah waktu harus ngebut balik ke rumah dari sekolah mengambil kartu
Ebta yang tertinggal. Lumayan jaraknya 3 km, bolak-balik jadi 6 km. Bikin saya
keringetan parah waktu tesnya dimulai.
Masa bersepeda berlanjut
sampai SMP. Daerah jajahan juga
berkembang. Bersama geng SMP yang rumahnya satu komplek, kami kompak sepedaan
kemana-mana. Waktu itu kami ke bioskop saja naik sepeda, lho.
Waktu SMP ini, selain pp ke
sekolah, saya rutin seminggu tiga kali bolak-balik bersepeda 8 km jauhnya untuk
latihan Kempo. Siang-siang panas jam dua berangkat, bawa ransel dan kadang
jerigen berisi jatah air minum, dan baru pulang selepas Magrib. Kalau musim
hujan? Ya terima nasib, laah.
Ehm.. dengan bersepeda juga,
seseorang.. ah, nggak jadi. Hahaha.
Ah, banyaknya kenangan masa
kecil saya bersama sepeda. Semua mengingatkan saya pada masa kecil yang seakan tidak
mengenal takut, rasa was-was, apalagi lelah. Sepeda memberikan perasaan dekat
pada banyak sahabat saya, yang pernah sekayuh berdua -litteraly-, yang berombongan ke tiap sudut kota, yang saling
membonceng, tanpa ada rasa lain selain pertemanan itu. Hingga yang sekarang terkenang membuat saya
tak lepas senyum ketika menuliskan ini. Terima kasih untuk Mbak NiaNurdiansyah, dan Mbak Anjar Sundari yang telah memilih tema ini untuk
#ArisanBlogGandjelRel.
Namun akhirnya, “setelah
negara api menyerang” jaman bersepeda menemui akhirnya. Hehe. Tibalah masanya sebuah
sepeda bermesin, bernama sepeda motor nangkring di teras rumah. Perubahan dari
sepeda ke sepeda motor ini juga seperti menandai akhir masa kecil saya, menjadi
awal menuju masa remaja. Masa di mana rasanya ingin bergerak lebih cepat, dan
berjalan lebih jauh lagi.
Meski begitu saya tidak
pernah lupa pada tawa yang menyertai tiap kayuhan kaki. Ketika setiap keringat
yang menetes memberikan kenangan yang kini tak pernah lepas indahnya.
Kulit wajah kini tak lagi
terbakar matahari, tapi masih terasa sejuknya angin yang berhembus di sela
rambut dan jaket yang rapat membalut.
Ketika menatap segores luka
di kaki saya, yang mengingatkan bahwa pernah ada sebuah masa. Ketika waktu dan
makna sama-sama berjalan lambat, hingga sempat membangun sebuah ruang yang selalu
berbunga di hati saya.
I have you in my mind, sahabat-sahabat
bersepeda saya. *jadi mellow
Amigos para siempre.