Baru
kemarin rasanya saya meminjam buku NH
Dini: Pada Sebuah Kapal dari perpustakaan sekolah. Waktu itu, hanya satu nama pengarang perempuan yang saya ingat
yaitu: NH Dini. Jadi saya, yang sesungguhnya sangat menyukai pelajaran bahasa
Indonesia, dibandingkan Kimia dan Fisika (salah jurusan kayaknya), merasa perlu
meminjam dan membaca buku-buku beliau. Seingat saya, ada tiga judul yang pernah
saya baca. Tapi ingatan pada cerita dalam buku-buku beliau? Nihil. Rupanya otak
remaja belasan tahun saya nggak nyandhak untuk memahami tulisan NH Dini.
Pertemuan kembali dengan
karya beliau terjadi baru-baru saja sebetulnya. Kurang lebih empat tahun yang
lalu. Saya lupa buku mana yang duluan saya beli dari setumpuk buku ini. Tapi,
saya langsung jatuh cinta, terutama pada buku-buku Serial Cerita Kenangan.
Koleksi Buku NH Dini |
Bagi penggemar berat,
mestinya tahu ada ‘Gap’ dari koleksi ini. Kalau ada pembaca tulisan ini yang berbaik
hati memberikan informasi tentang di mana buku yang belum saya punya bisa
didapatkan, akan saya terima dengan senang hati. :D Di antara lain buku yang saya cari: Langit dan
Bumi Sahabat Kami, Sekayu, Dari Fontenay ke Magallianes, dan Pada Sebuah Kapal.
Jadi, kita lompat pada
pertemuan hari Kamis, 6 Agustus 2015.
Hari itu termasuk satu hari
yang sudah saya tunggu-tunggu. Sudah saya sampaikan pada keluarga, pokoknya pada
hari itu saya harus pergi untuk sebuah acara penting. Penting buanget karena acara
ini lebih dari sekedar ketemu beliau di acara launching buku lalu minta tanda
tangan dan foto-foto. Lebih mahal dan berharga dibandingkan ikut acara
pelatihan menulis dengan beliau, misalnya. Ini adalah acara makan siang dengan
NH Dini. Semi privat pula, karena beliau hanya kerso ketemu sedikit orang. Ini adalah
pengalaman yang nggak akan saya dapatkan di tempat lain.
Alhamdulillah, melalui Dewi
Rieka dan Artie Ahmad, saya dapat kesempatan ini.
Terus mengapa cerita pertemuan
dengan NH Dini jadi “Mengejar NH Dini?” Karena, ehm, begini:
Memang dalam cerita mesti ada
‘twist’ biar menarik. Saya sudah berangkat ‘ke bawah’ sejak pukul sembilan
pagi. (Orang Semarang pasti paham kalau ‘ke bawah’ itu mengindikasikan rumah
saya ada nun jauh di daerah Semarang atas.) Jam sebelas sudah sampai di ‘lokasi’,
(setengah jam sebelum jadwal janjian). Mbak Dian Nafi sudah di sana juga. Kami sempat
ngobrol-ngobrol nervous soal mau ketemu NH Dini! Setengah jam berlalu, saya
mulai gelisah. Kenapa bu Dini belum juga muncul? Dari cerita di buku-bukunya
saya yakin beliau adalah orang yang sangat menghargai waktu.
Jadi, ini ‘twist-nya’:
Ternyata, restoran tempat saya dan mba Dian
Nafi menunggu, bukanlah restoran yang dimaksud. Kami nunggu di Nglaras Roso
cabang Thamrin, bu Dini (dan Artie) nunggu di Ungaran! Itu berarti sekitar 25 km
jauhnya dari lokasi kami. (Yang sebetulnya malahan deket dari rumah saya). Namanya
sama, lokasinya beda. Jeng jeng jeng!
Di ujung telepon sayup saya
mendengar suara bu Dini. Dan Artie, menambah suasana horor di hati saya dengan
kalimat, “Tapi Eyang nggak mau nunggu lho, Mbak.”
“Saya berangkat ke sana, mbak
Artie, kalaupun nanti bu Dini sudah tindak, saya pasrah,” tutup saya di
telepon.
Maka dengan menatap galau mata
mbak Dian Nafi, “Yuk, Mbak, kita nyusul ke sana.” Mbak Dian langsung
mengiyakan.
Bismillah. Saya tahu waktu
normal berkendara dari Jl. Thamrin sampai Ungaran adalah 45 menit, bahkan bisa
satu jam. Selain jauh, jalanan sering padat. Mbak Dedew, yang waktu itu di
dalam bus juga langsung balik kanan.
Saya nyetir senekad mungkin -sambil membayangkan bu
Dini yang mungkin marah pada kami-, sambil
ngeri-ngeri sedap menyalip dan ngomelin pengemudi lain yang mendadak jadi
siput, kami berdua selamat tiba di lokasi dalam waktu 25 menit! Nyaris bareng
dengan Mbak Dedew yang saya lihat ‘loncat’ dari dalam taxi. Hihihi. Kami semua ‘mengejar’
waktu berharga kami bareng NH Dini.
Seberapa menit-pun yang
tersisa, kami harus sempat ketemu!
Buru-buru mencium tangan
beliau, kami bertiga berupaya meminta maaf. Bu Dini berkata kalau beliau harus
istirahat pada jam satu karena sore harinya ada janji yang lain. Karena kondisi
kesehatannya, beliau harus cukup berbaring sebelum melakukan aktivitas lain. Makanya
tidak bisa menunggu kami terlalu lama. Tapi untunglah beliau tetap ramah, dan Artie
langsung jadi ice breaker dengan
berkata, “Ya udah, sekarang buku yang mau ditanda-tangani dikeluarin to, Mbak.”
Whoa! Langsung seisi ransel
saya keluarin semua. Hehehe. Karena sebelumnya saya blank, tidak tahu mau
bicara apa. Akibat habis lulus jadi pembalap, segala pertanyaan yang sudah saya
persiapkan sejak sebulan lalu menguap di udara. Untungnya obrolan dengan eyang
Dini mengalir begitu saja. (Iya, saya memang jadi labil ketika manggil beliau. Ibu
atau eyang?)
Saya sampaikan rasa penasaran saya mengenai
sebanyak apa catatan yang eyang Dini miliki. Kok beliau bisa sangat
rinci ketika menuliskan suatu peristiwa, sampai ke warna baju, kadang potongan
rambut, cara berjalan, dan lain sebagainya. Terutama saya kagum karena seri Cerita Kenangan adalah kisah beliau sendiri. Kisah nyata, nggak
ngarang.
Intermezo: ----Jadi, dear
pembaca yang ingin mengenal lebih dalam tentang NH Dini, bacalah buku serial
Cerita Kenangan ini. Antara lain: Sebuah Lorong di Kotaku, Kemayoran, Jepun
Negerinya Hiroko, sampai buku beliau terbaru: Dari Ngalian ke Sendowo. Baru release
tahun ini (2015), jadi buruan cari di toko buku. Susah lho nyari lagi kalau
sudah habis.----
Buku Baru eyang NH Dini |
Salah satu serial Cerita Kenangan. Covernya dilukis oleh Eyang sendiri, lho! Sayang lukisan itu sampai saat ini tak diketahui rimbanya. |
Sedangkan kisah-kisah
lainnya, eyang banyak mengambil inspirasi dari peristiwa yang juga pernah
beliau alami/ ketahui sendiri. Kan hebat, beliau masih ingat secara rinci
kejadian belasan sampai puluhan tahun yang lalu.
Eyang Dini bilang it’s a
given. Bahwa beliau punya ingatan ‘filmis’. Bahwa banyak peristiwa meski telah
puluhan tahun yang lalu terjadi, bisa muncul di dalam ingatan beliau seperti
film yang diputar.
Selain itu eyang punya ‘buku Merah’. Buku tempat beliau mencatat
semua adegan yang dirasa penting. Jika eyang mendapati kejadian menarik, akan
langsung dicatatnya, lalu, beliau akan memindahkan catatan itu ke dalam ‘buku
Merah’. Buku merah ini akan menjadi sumber penting bagi adegan-adegan di dalam
cerita.
Eyang Dini juga bercerita kisah ketika beliau menerjemahkan karya sastra Perancis dari seorang peraih hadiah Nobel, Albert Camus: La Peste, (diterjemahkan menjadi 'Sampar'). Beliau kekeuh memegang prinsip bahwa sebuah karya sastra tidak bisa 'dipotong' seenaknya, apalagi demi mengejar jumlah halaman. Bahkan eyang Dini berupaya memahami benar pesan yang ingin disampaikan sampai kata per kata. Tidak sekedar menerjemahkannya menjadi bahasa Indonesia. Wah, jadi kesentil kan, dengan fenomena terjemahan ngawur jika sekedar mengetikkan kalimat ke translator tanpa mengerti maknanya.
Kami terus berbincang, kebanyakan
tentang cerita-cerita dalam buku-bukunya. Tentang sahabat-sahabat beliau, dan
bagaimana saya mengagumi ketelatenan beliau mengurus anak-anaknya ketika beliau
mengikuti tugas suaminya waktu itu dan berpindah-pindah negara.
Begitupun saya kagum dengan
keahlian beliau dalam memasak. Akibat menyampaikan rasa penasaran saya akan ‘sambal
bajak’ yang beliau selalu bawa kemana-mana ketika di luar negeri, kami jadi
punya ‘janji kencan’ lagi dengan eyang! Amiin, semoga terjadi.
Doa kami semua, di usianya
yang menjelang 80 tahun, semoga eyang NH Dini selalu sehat, sehingga dapat
terus berkarya, menginspirasi, dan meninggalkan warisan yang sangat berharga
bagi Indonesia.
Waktu terus berlalu, dan
waktu hampir mendekati jam setengah dua! Alhamdulillah, eyang kerso berbagi
dengan kami lebih dari waktu yang beliau siapkan sendiri.
Sebelum pulang Eyang NH Dini
tidak segan berfoto bersama kami. Hua. Rasanya haru dipeluk dan cipika cipiki
dengan seorang NH Dini. Seseorang yang sudah saya kenal namanya sejak jaman
sekolah, dan muncul di buku-buku pelajaran bersama HB Jassin, WS Rendra, dan
Chairil Anwar!
Dalam mobil (dimana saya udah
rileks nyetirnya) saya dan mbak Dian Nafi norak-norak bergembira nggak jelas
gitu, mengenang kejadian yang baru kita alami. Hahaha. Mungkin ini yang
dirasakan para ABG ketika nonton boysband, atau para Wota yang nonton AKB 48. Hihi.
Thank you, Artie |
Thank you, very much, buat
Artie Ahmad (Penulis buku Turning Seventeen à cari di tobuk yaa). And the lovely Dewi Rieka. Maknya
kos Dodol ini memang really amazed me! (I love you full, Mak. 'Kedodolan' itu
berulang kali membawa berkah!)