Pemandangan dari balik jendela kereta
melintas cepat bagaikan film yang memutar balik cerita kita. Aku telah menangguhkan
keinginanku untuk naik pesawat, karena perjalanan ini harus sesuai dengan
keinginanmu. Padahal aku tidak suka perjalanan darat yang panjang. Bagiku itu buang-buang
waktu dan hanya akan membuat badanku lelah. Tapi kamu suka, kan.
Katamu perjalanan darat akan membuatmu
benar-benar merasakan perjalanan sesungguhnya. Kamu bilang setiap detik di
jalan akan membuat kita sadar akan limpahan kekayaan alam di setiap tempatnya.
Membuat hati menjadi peka keindahan, dan bersyukur pada setiap anugerahNya. Kamu
sangat suka memandangi hamparan sawah, kebun sayuran, juga pohon-pohon di hutan.
Aku sempat tertawa. Apa enaknya
menikmati perjalanan sambil pegal-pegal, sementara dengan pesawat terbang kita
bisa langsung sampai di tujuan. Lagipula jalan-jalan di Jawa khususnya saat ini
sudah tak lagi menghamparkan keindahan. Alih-alih pepohonan atau sawah yang
menghijau, kita hanya akan disuguhi pemandangan padatnya rumah dan pabrik.
“Riani,…” ucapmu seperti sedang mengajari anak
kecil. Padahal umur kita sebaya. “…semakin sering kamu bepergian, kamu akan tahu
bahwa setiap tempat itu istimewa. Perubahan itu nggak akan kamu rasakan kalau
kamu kemana-mana naik pesawat.”
“Terus, aku mesti naik apa kalau mau
ke Singapura atau Bali dari Jakarta? Numpang bajaj?” gerutuku. Selama ini aku
tidak pernah mau liburan ke kota-kota yang tidak memiliki bandara. Aku malas
menghabiskan terlalu banyak waktu untuk perjalanan darat. Sudah cukup waktuku
habis di jalanan Jakarta.
Kamu gemas mengacak rambutku. “Bukan itu
maksudku nona manis. Tempat-tempat yang paling indah, aneka tumbuhan dan satwa
yang unik, justru banyak yang hanya bisa ditemui dengan perjalanan darat. Nggak
jarang mesti jalan kaki, lho. Tapi di
situlah tantangannya. Dengan begitu kamu akan melihat, mendengar, dan akhirnya lebih
banyak tahu. Apalagi kita tinggal di Indonesia. Negara dengan keanekaragaman
hayati yang tinggi. Negara kita ini disebut sebagai negara Megabiodiversity, lho.”
Aku berdecak. Kamu, Bagus, adalah
orang paling idealis yang pernah kukenal. Khususnya soal lingkungan. Selain itu
kamu sangat aktif dengan komunitasmu itu, komunitas berisi orang-orang yang
hobi mendokumentasikan aneka hewan dan tanaman di hutan-hutan. Pantas kamu
begitu menikmati pekerjaanmu. Menjadi kameraman stasiun televisi bisa membuatmu
bepergian ke segala pelosok negeri. Membawamu pada beragam perjalanan yang kamu
rindui.
Aku melirik jam tangan darimu. Kamu
beli untukku dari gaji pertamamu. Hingga kini aku belum pernah menggantinya
dengan yang lain. Aku sedang menghitung-hitung. Dalam delapan jam kereta ini
akan tiba di Solo. Perjalanan naik bus ke Tawangmangu perlu waktu dua jam. Naik
angkutan umum dari terminal Tawangmangu ke pos pendakian Cemoro Sewu, mungkin hanya
setengah jam. Semua telah kuhafal di luar kepala sejak kamu memberiku rute
perjalanan itu. Empat tahun yang lalu.
“Jadi kamu mau liputan ke Lawu, Gus?
Ada acara apa sih di gunung?” tanyaku setelah membaca jadwal perjalananmu.
“Aku dan teman-teman akan membantu
penelitian tentang keanekaragaman hayati di Lawu. Khususnya tanaman. Kebetulan stasiun
tiviku juga akan membuat film dokumenternya,” jawabmu penuh gairah. Aku
merasakannya dalam suaramu, sorot matamu. Semua yang aku suka darimu.
“Berapa lama?”
“Seminggu. Mungkin lebih.”
Aku langsung cemberut.
Kamu yang menyadari perubahan wajahku
langsung merangkulku.
“Seminggu kan tidak lama,” bujukmu.
“Memangnya Lawu seberapa luasnya
sampai kamu butuh waktu berhari-hari buat melihat tanaman saja,” protesku.
Pekerjaanmu sebagai jurnalis, belum
lagi aktivitas di komunitasmu itu, ditambah pekerjaanku di bank yang membuatku
makin sering lembur, membuat kita jarang bertemu.
Kamu malah tertawa. “Kegiatan ini
penting, Riani. Kamu tahu, di gunung Lawu perusakan lingkungan sudah cukup
mengkhawatirkan. Sebagian besar disebabkan oleh penebangan liar, tanah longsor,
kebakaran hutan, dan juga perambahan hutan untuk pertanian. Karena itu
penelitian tentang keanekaragaman tumbuhan ini penting, sebagai salah satu
upaya konservasi pada kawasan hutan di gunung Lawu.”
Ah, kamu mulai dengan kuliahmu.
“Tapi aku pasti kangen.” Aku merajuk.
Kamu menatapku, lalu melepaskan jaket
biru kesayanganmu, dan melingkarkannya di bahuku.
“Kalau kangen peluk jaketku aja, ya.”
“Huh,
jaketnya bau kamu.” Aku masih merajuk.
Kamu seperti berpikir sejenak sebelum
berkata, “Gini, deh, aku janji, nanti
begitu dapat libur, aku akan mengajakmu pergi.”
“Kemana?” tanyaku sumringah.
“Naik gunung.”
Semangatku langsung surut. “Kenapa mesti
naik gunung, sih, Gus? Jauh banget.
Capek tahu!” protesku.
Aku adalah gadis kota tulen yang
interaksi terdekatku dengan alam adalah pergi ke kebun binatang. Membayangkan
memanggul ransel di tengah-tengah rimba ditambah mendaki berjam-jam membuat
migrenku kambuh. Kepalaku pusing membayangkan kerepotan apa yang harus aku
jalani demi perjalanan seperti itu.
Kamu tersenyum dan menyibakkan rambut
ikalmu yang diam-diam aku kagumi.
“Soalnya, aku kepingin menunjukkan padamu
seperti apa pohon Paederia Scandans itu,
mau mengajakmu melihat matahari bangun di puncak gunung. Kamu pasti akan
mengenangnya seumur hidupmu.”
“Pohon apa?”
“Pohon sembukan, alias daun yang berbau seperti kentut.” Kamu tergelak.
Aku mencubiti lenganmu dengan kesal. Kamu segera
menangkap tanganku.
“Kamu mau ya, ikut denganku?”
“Duh, mana mungkin
aku kuat jalan sampai ke puncak. Lagian boro-boro naik gunung, jalan kaki
keliling komplek aja udah gempor!”
“Kamu pasti bisa, Riani.”
“Kalau aku pingsan?”
“Kamu nggak akan pingsan.”
“Kalau aku takut?”
“Kan ada aku.”
Genggamanmu makin erat. “Kita janji, ya?”
Lalu akupun jatuh dalam keteduhan matamu.
*
Aku merasakan kereta melambat. Sayup
denting lagu beradu dengan derap roda-roda besi di Stasiun Balapan. Aku
merenggangkan tubuh. Lihat, Bagus, aku tidak mengomel untuk jam-jam panjang
yang kuhadapi.
Hembusan
angin segar di halaman stasiun menyambutku. Menguarkan aroma kerinduanmu akan
kota ini. Aku segera menuju tempat becak-becak diparkir. Berbekal bahasa Jawa yang
pernah kamu ajarkan, aku minta seseorang mengantarku ke terminal. Perjalanan
naik becak ini juga idemu. Beberapa kali aku ke Solo, baru kali ini aku
bergerak pelan seiring keriyat-keriyut kayuhan pedal becak.
“Kamu
harus merasakan naik becak. Duduk di becak bisa membuat kamu merasakan udara
berhembus di sela telingamu, membaui aroma masakan, bunga, rumput,…”
“Juga
bau sampah, keringat orang,” selaku. Kamu terlalu puitis. Kalau kamu tidak jadi
kameramen barangkali kamu akan jadi pujangga.
Kini,
ditingkahi semilir angin, aku memejamkan mata. Merayap bersama waktu di
jalan-jalan kota yang sangat kamu cintai. Ah, sepertinya akupun jatuh cinta.
*
Bus ini bergoncang untuk kesekian
puluh kalinya. Tak kubayangkan perjalanan ke lereng gunung Lawu akan penuh
kelokan, tanjakan, dan tikungan tajam. Deretan pohon pinus di sepanjang jalan
seperti tentara yang berjaga, agar bus oleng ini tidak terjun ke jurang. Anehnya
aku tidak mengomel, atau mengumpat. Tidak sekalipun, selain mendaras doa. Aku
masih ingin selamat untuk menunaikan janji kita.
Mungkin karena kamu mendekap aku, aku
menjadi tenang. Aku ingat kamu pernah berpesan untuk berserah diri ketika
sedang menempuh perjalanan. Aku nikmati setiap hentakan tubuhku ketika bus mendadak berhenti atau berbelok cepat. Padahal jurang-jurang menganga bagai mulut monster yang siap
menyambut nyawa. Ah, maut begitu dekat sekaligus begitu jauh. Tapi bersamamu,
aku tak lagi takut apapun.
*
Aku termangu di pintu Cemoro Sewu. Titian ini semakin dekat. Sebentar
lagi perjalanan sesungguhnya akan dimulai. Mendaki gunung adalah bukan tentang
penaklukan, tapi sebuah perjalanan ke dalam dirimu, begitu selalu katamu,
Bagus.
Seorang kawanmu memeriksa kelengkapan
barang-barang kubawa. Sahabat-sahabatmu memang sekumpulan orang yang sangat
baik dan hangat. Mereka menyambutku laksana sahabat lama, padahal belum pernah
sebelumnya berjumpa. Pada tanggal yang sama, -sejak empat tahun yang lalu-,
mereka selalu bersama-sama kembali menempuh perjalanan ini.
Abdul, pemimpin rombongan berdiri menjajariku.
“Terima kasih mbak Riani mau ikut kegiatan kami. Mas Bagus pasti senang sekali.
Setiap kali kami kembali untuk mendokumentasikan tanaman di jalur pendakian
ini, kami hanya bisa berharap kerusakannya tidak semakin parah setiap tahunnya.
Tidak banyak lagi orang yang peduli dengan kelestarian hutan, Mbak.”
Aku menunduk malu. Lama juga waktu
yang kuperlukan untuk peduli. Atau tepatnya aku butuh waktu yang sangat lama
untuk berani memenuhi janji ini. Aku menarik nafas, membulatkan tekad. Sambil
menggenggammu lebih erat, aku mulai menapaki jejak-jejak yang dulu pernah kau
pijak. Gemeresik langkahku beradu lembut dengan bebatuan dan rumput. Dengung
kumbang dan selintas suara burung-burung adalah musik paling merdu yang pernah
kudengar.
Seperti apa rupamu waktu pertama kali
melewati jalanan ini, Bagus? Aku membayangkan kamu sepuluh tahun lebih muda.
Barangkali rambutmu belum sepanjang saat aku mengenalmu. Barangkali tubuhmu
lebih kurus. Tapi aku yakin senyummu tetap sama.
Teman-temanmu bilang meskipun banyak
gunung-gunung lain yang telah kamu daki, kamu selalu merindukan Gunung Lawu. Waktu
itu aku berkata bukankah sudah banyak gunung lain yang kamu datangi.
Sebagiannya bahkan mendapat gelar gunung-gunung dengan puncak tertinggi.
“Lawu adalah gunung pertama yang aku daki. Cinta
pertamaku jatuh kepadanya. Pada hutannya, pada keelokannya. Karena itu aku selalu
mengingatnya sebagai pengalamanku yang paling mengesankan,” begitu katamu.
Kini aku mengerti. Cintaku pertama
juga jatuh padamu, Bagus. Aku juga selalu ingat. Meski kenangan tentang kamu
menorehkan nyeri dalam diri yang aku tak tahu datang dari mana. Karena hingga
kini aku tak pernah bisa lupa, detik-detik kehilangan kamu.
“Mbak Riani?”
Waktu itu aku baru tiba di rumah
selepas kerja. Aku tersambung dengan seseorang bernomer telepon asing.
“Mbak Riani saya menelepon untuk
menyampaikan kabar tentang Bagus Ardi.”
“Bagus kenapa, Mas?” Perasaanku
langsung tak enak.
“Bagus menuliskan telepon Mbak di
nomer telepon yang harus dihubungi dalam keadaan darurat.”
Aku menahan jantungku lompat dari
rongganya.
“Saya harus mengabarkan kalau Bagus
hilang di Gunung Lawu.”
Kalimat terakhir itu kemudian
menjelma gema yang tak berkesudahan di kepalaku. Doa yang berhari-hari kuretas
barangkali lebih deras daripada hujan yang mengguyur Jakarta.
Kamu harus kembali, Bagus. Kita masih
memegang janji.
*
Tapi hari berlalu tanpa kabar
kepulanganmu.
*
Hanya janji yang membuatku mampu
berdiri di Hargo Dumilah, puncak tertinggi Gunung Lawu. Aku membaui rumput yang
basah oleh embun. Lebih segar dibandingkan aneka minyak aromatherapy di tempat spa termahal sekalipun. Aku dibuat takjub
dengan aroma hutan di sepanjang jalan. Aku jadi kesal bercampur geli karena jadi
tahu bau daun sembukan, pohon yang dulu kamu sebutkan. Benar-benar seperti gas
berbau tajam. Masih pula terbayang keindahan bunga edelweiss yang kujumpai
dalam perjalanan menuju puncak. Kecil terselip di antara rerumputan. Aku
berharap bunga-bunga itu selalu tumbuh abadi seperti namanya.
Perjalanan ini membuatku semakin
mengerti, Bagus. Kecintaanmu pada tumbuhan, pada alam, adalah wujud syukurmu
yang terbesar pada karunia yang diberikanNya untuk bumi ini.
Dalam deru nafasku aku menyaksikan
tirai langit membuka. Mentari yang perlahan bangun, hangatnya seperti sinar
matamu. Aku mendekapmu semakin erat. Aku merasa
dekat, terbenam dalam jaket biru yang kamu tinggalkan untukku.
Demi Alam yang menyambutmu pulang,
aku mencintaimu, Bagus. Sepanjang janji kita.
Selesai
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
“Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com