Sahabat
sejati perempuan bukan perhiasan berlian seperti yang sering muncul di iklan-iklan. Sahabat
sejati perempuan adalah perempuan lain yang selalu ada di saat duka dan suka.
Jangan anggap pernyataan itu
klise sebelum mengalami sendiri.
Bayangkan diri kita sedang
dikepung masalah tanpa punya sahabat yang mengulurkan tangan. Bayangkan tersesat
dalam perjalanan hidup karena tak ada lentera-lentera yang setia menunjukkan
jalan. Atau berjalan di tengah riuhnya hidup, tapi sesungguhnya merasa sepi.
Setiap perempuan butuh sahabat yang bisa ‘ditemui’ tanpa dibatasi jam
berkunjung. Seseorang yang tidak berubah jadi hakim sekalipun kita baru saja
berbuat dosa.
Karena itu, saya iri pada
Miyu, Ajeng, dan Aliyah. Simply karena
mereka memiliki satu sama lain.
Dua Cinta Negeri Sakura
(2CNS) terbitan Gramedia adalah novel kedua Irene Dyah. Rupanya novel ini juga
dimaksudkan sebagai seri lanjutan dari novel pertamanya yaitu Tiga Cara
Mencinta.
Meski belum membaca novel
pertama, tidak sulit untuk mengikuti jalan cerita 2CNS. Di awal pembaca akan
diajak berkenalan dengan tiga sosok perempuan tokoh utama novel ini. Miyu,
seorang perempuan Jepang yang ahli menari Jawa. Ajeng, lajang kosmopolitan yang
sedang menempuh karir internasional di Thailand. Aliyah, perempuan satu-satunya
yang berjilbab, yang baru saja melewati fase terberat dalam pernikahannya
dengan seorang mualaf, yang juga miliuner berkebangsaan Jepang.
Sebagai buku yang ceritanya
bersambung, dalam 2CNS ini rupanya giliran Miyu yang sedang menghadapi konflik.
Cintanya tumbuh rumit untuk Scott, seorang photographer tampan, simpatik, dan terobsesi
pada Miyu, yang sayangnya sudah beristri. Pertemuan Miyu dengan Scott di Solo,
ternyata sangat mengesankan bagi mereka berdua.
Di luar konflik cinta yang
lazim dialami oleh banyak perempuan di dunia, terselip nilai-nilai Islami, yang
disajikan tanpa menggurui, khususnya bagi para perempuan.
Yang paling menarik adalah
suguhan kisah-kisah seputar kehidupan para perempuan di Jepang. Nilai-nilai yang
mendasari kehidupan mereka dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang membaca. Setting di Jepang khususnya Tokyo dituliskan secara menawan. Tidak melulu berupa obyek wisata yang terkenal di dunia,
melainkan tempat-tempat sehari-hari macam gang-gang di antara rumah, bagaimana
rumah masyarakat kebanyakan, atau commuter
line, yang tergambar begitu nyata.
Tentu saja semua penggambaran tadi dapat dipertanggung-jawabkan lahir batin karena penulis pernah tinggal di
Jepang selama beberapa tahun sebagai pelajar, lajang, dan juga ketika telah
menikah dan punya anak. Tak perlu ragu karena semua referensinya itu dialaminya
langsung. Bahkan detail tentang profesi Miyu sebagai penari, dan juga pemilihan
Bangkok sebagai tempat tinggal Ajeng, tak lepas dari aktivitas yang pernah
dilakukan penulis.
Terlepas dari cerita cinta
yang berbelit, nilai apik yang saya tangkap dari membaca novel ini adalah
persahabatan. Bagaimana Aliyah, Miyu, dan Ajeng bisa demikian setia satu sama
lain di tengah semua perbedaan mereka.
Lewat Aliyah, Miyu, dan Ajeng, kita tahu, perempuan
bisa menjadi sahabat terbaik bagi satu sama lain.