Saya ingat tempat pertemuan pertama saya dengan Supernova. Di sebuah toko
buku dalam mal, dia lagi ‘nongkrong’ di atas tumpukan ‘Buku Baru’.
Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (2001) bikin saya langsung mumet over
dosis. Saya yang waktu itu masih anak kuliahan, merasa keren bisa membaca buku
yang sophisticated. Sejak itu saya
kecanduan. Saya berubah jadi anak kecil yang duduk di meja makan, menungggu masakan
ibunya matang.
Akar (2002), tidak langsung membuat saya doyan. Rasanya agak aneh dan
asing. Tapi rupanya seperti akar, diam-diam dia tumbuh dan membuat saya tak
bosan melahapnya lagi, dan lagi. Sebaliknya Petir (2004), seperti makanan
favorit saya. Tentu saja saya makan dengan nikmat dan selalu nambah.
Setelah itu ternyata saya harus kelaparan selama delapan tahun. ‘Penyiksaan’
itu membiarkan saya menyelesaikan kuliah, ketemu jodoh, menikah, hingga punya
anak. Perubahan yang nggak cuma terjadi pada saya -penunggu setia yang
kelaparan-, tapi juga pada Sang juru masak.
Untunglah, Partikel (2012) akhirnya selesai juga. Delapan tahun ‘puasa’
bikin saya (sedikit) rakus. Partikel adalah cerita yang kaya dengan
petualangan, mirip Akar. Bedanya saya langsung suka. Rasanya sungguh familiar. Inilah
hasil ‘puasa’ delapan tahun.
Dan ternyata saya nggak perlu lama-lama puasa lagi, karena dua tahun
kemudian, Gelombang (2014) datang. Tokohnya laki-laki bernama Alfa Sagala dari
Sianjur Mula-Mula. Alfa terlahir dengan ‘rahasia’ yang tersembunyi dalam mimpi
buruknya.
Cerita Alfa mirip seperti kisah Zarah (Partikel). Keduanya mengalami satu ‘lompatan
takdir’ yang membuat jalan hidupnya otomatis berubah. Kisah yang rapi dan
mengalir. Ibarat hidangan, Partikel itu pecel Madiun, Gelombang ini pecel Malang.
Rasanya lezat, dekat, karena tetanggaan. Dan tentu saja mbak Dee sudah sangat piawai mengulek sambalnya.
Setiap kali pula, 'kesaktian' tokoh di Supernova pasti bikin iri. Bukan kemampuan
Alfa hidup tanpa tidur yang bikin saya mupeng, tapi otak Alfa yang cerdas, -mungkin menurun dari mamaknya yang
rajin membaca- dan tekadnya yang nyaris seperti nekad –kalau ini mungkin
seperti bapaknya-. Alfa is a fast learner
plus risk taker.
I wish ada
radioactive spider yang bisa membuat orang cepat menguasai berbagai bahasa asing
seperti Alfa Sagala. Saya rela digigit.
Membaca Gelombang membuat semua seri Supernova sebelumnya menjadi semacam
buku misteri. Saya seperti digiring
dalam petualangan yang makin lama makin menegangkan. Sisipan cerita lucu seperti
‘kisruh’ penamaan Alfa dan saudara-saudaranya tidak berhasil mengurangi
ketegangan saya.
Mengapa begitu, karena Gelombang memperjelas, bahwa selalu ada kawan dan
lawan. Si jagoan punya tujuan, dan lawan-lawan itu akan selalu menjadi
penghalang.
Pertanyaannya adalah, siapa menjadi apa? Duh, saya jadi mereview
kisah-kisah sebelumnya. Saya sulit membayangkan kalau Mpret (Petir) yang
berhasil mempesona saya karena cool
abis itu ternyata adalah lawan. Tapi siapa yang tahu?
Dalam setiap episode Supernova memang setiap tokoh utama akan beroleh ‘pendamping’.
Karakter-karakter kuat yang menemani si jagoan menemukan jati dirinya. Pertemuan
mereka ini selalu seperti takdir. Mengejutkan dan tak dinyana.
Dalam Gelombang
jelas sudah. Tokoh-tokoh itu ada bukannya tanpa alasan.
Mereka itu either Peretas,
Infiltran, atau Sarvara. Hua, horor. #eh
Tokoh-tokoh utama dari semua seri Supernova juga mulai bersinggungan. Mereka
hampir saling menemukan. Kalau Petir dan Akar sudah bertemu, dengan siapakah Gelombang
akan ketemu duluan? Bagaimana cara mereka ketemu?
The Plot is Thicken.
Kisah
ini sudah hampir sampai.
Mungkin karena itu dalam Gelombang kita tidak bisa lama bersantai-santai. Kisah
Alfa di Sianjur Mula-Mula langsung menyuguhkan ketegangan, sebelum akhirnya dia
pindah ke Jakarta. Cuma sekejap di Jakarta, Alfa malah jadi imigran gelap ke
New York. Sebentar juga di sana karena Alfa harus segera sampai ke Tibet.
Memang ada beberapa detail cerita yang suka saya ‘skipped’ ketika membaca ulang. Seperti waktu Alfa ke-edanan main
gitar, dan sesi Alfa dengan dokter Colin di Amrik. Buat saya tujuan Alfa sudah
terlalu jelas: Indonesia. Pulang. Seperti juga tokoh-tokoh yang lain, mereka
akan ketemu di satu tempat. Apakah itu di Bandung, Jakarta, atau satu alamat baru
yang diciptakan mbak Dee. (Saya selalu ‘WOW’ dengan semesta yang dibuat mbak
Dee: begitu nyata.)
Selanjutnya bagaimana? Setelah ending di pesawat yang bikin deg-deg-an, mbak
Dee bilang: Bersambung ke episode Intelegensi Embun Pagi. Menilik judulnya, kayaknya
bakalan hadir sesuatu yang sejuk dan adem. Apakah itu berarti selesainya semua
kisah yang sudah ada belasan tahun ini?
Ya, saya masih duduk manis dan menunggu, kok.
Pick Me, Dee’sCoaching Clinic, and Why?
Seperti orang yang suka diam-diam, rasa itu biasanya sangat dalam. Saya sudah
jatuh hati kepada tulisan mbak Dee waktu membaca cerita Rico si kecoak di satu
majalah remaja. Duh, hitungannya sudah lebih dari belasan tahun ke belakang. Waktu
Supernova berhasil mengikat saya untuk duduk manis menunggu, saya juga melahap Filosopi
Kopi (2006), Rectoverso (2008), Perahu Kertas (2009), dan Madre (2011).
Cerita-cerita itu kadang ‘gue banget’ sehingga bikin saya merasa dekat
padahal nggak kenal. Buku-buku Dee menjelma teman ketika sendirian.
Sementara itu, tak satupun review pernah saya tulis. Karena rasanya tak
cukup kata-kata untuk menuliskannya. (Cie ini mah…) Andaikan harus diungkapkan, saya cuma bisa bilang, “Saya suka kamu.”
Rasa suka yang mendorong keinginan saya untuk menulis dengan bagus. Karya mbak
Dee menjadi benchmark yang sangat
tinggi. Di gunung sana, sementara saya masih ngesot di lembahnya.
Rasa suka yang membuat saya kepo dan jadi one of the many folowers-nya di twitter. Kegiatan ‘memata-matai’ yang
bikin saya jatuh hati lagi karena sosok mommynya Keenan dan Atisha ini.
Cuma mbak Dee yang membuat saya (dengan status emak-emak) santai ngantri
dengan para ABG demi ketemu langsung dan mendapatkan tanda tangannya. Harta saya
yang paling berharga di rak buku.
Yes, she 'said' that to me. :D |
Dua pesan di atas saya yang minta untuk dituliskan mbak Dee. Diam-diam
saya harapkan jadi mantra super biar beneran kejadian.
I wanna be a writer.
Saya pengen ‘tertular’.
Dan cara paling ampuh untuk ‘ketularan’ adalah dengan bertemu.
Belajar dari cerita-cerita
mbak Dee, ‘Semesta’-lah yang mengatur setiap pertemuan.
Tulisan ini semoga menjadi
jalan yang membuat kami ketemu.