Pernahkah
kita, ketika membaca tulisan
orang lain entah itu cerpen, novel, artikel di koran,
bahkan running text di tivi lantas membatin:
“Kalau gini aja, aku bisa buat yang lebih bagus.”
“Kok
cerita kayak gini aja bisa masuk majalah, sih? Bagusan juga punyaku.”
Oke,
masalahnya, mana tulisanmu yang katanya lebih bagus itu?
Lalu kita
came up with:
“Ya
idenya sih banyak. Di kepala, nih!" (Sayang kepala kita nggak ada layarnya)
“Mana
ada waktu lah, aku kan ngantor dari pagi sampai sore.”
“Anakku
empat nggak punya pembantu, boo. Boro-boro
nulis!”
“Pak
RT nih, ngajak siskamling tiap malam!”
Duh,
jadi repot ya bikin alasan. Ini-lah itu-lah. Saking repotnya, malah jadi nggak (pernah) nulis. Padahal kalau alasan itu dikumpulin,
jadi tuh, novel 150 halaman. Hoho.
Seringkali
kita lupa, penulis juga punya keluarga, ibu-ayah, anak-cucu, kakak-adik,
tetangga, yang masing-masing perlu ‘diurus’. Dan lagi memangnya penulis itu
bukan manusia sehingga nggak perlu melakukan domestic chores? Dikira mereka cukup minum pil lalu kenyang
seharian atau nggak perlu ke kamar mandi buat sikat gigi? Mereka juga bukan
penyihir yang bisa menghentikan waktu sementara dia bisa asyik menulis tanpa
dijatah 24 jam sehari.
Bisa menang
melawan segala macam alasan itulah yang menjadikan penulis-penulis itu hebat. Writing is Fighting, kiranya memang pas
menggambarkan curhat para penulis di buku ini. Berasa curhat karena ditulis
dengan bahasa yang santai macam ngobrol dengan teman lama. Begitu yang saya
rasakan ketika membacanya.
15 penulis yang sharing di buku ini punya beragam latar belakang, dari ibu
rumah tangga, pekerja kantoran, wartawan, you name it. Pengalaman mereka
semua diceritakan di buku ini. Pahit manisnya perjuangan mereka dengan “baggage” masing-masing, tapi tetap bisa berkarya!
Semua
orang punya “musuh” yang harus dikalahkan untuk istiqomah. Dalam hal ini, kekeuh menulis. “Musuh” itu yang mesti
digusur jauh-jauh. Kadang bahkan fighting
bukan sekedar melawan malas atau ngantuk, tapi juga “fight” dalam arti berkompromi dengan anak sendiri yang heboh
mengajak si emak main (Mak Dedew). Dan si emak rempong ini bisa tuuh menelurkan
belasan buku best seller! Duhai Mak,
saya juga mau sepertimu.
Ada juga kisah-kisah penulis menghadapi writer's block, serunya riset yang mirip cerita detektif, cerita lucu "behind the scene", hingga kisah-kisah mengharu biru, ketika para penulis ini mesti berhadapan
dengan penerbit abal-abal, tulisan yang tidak dihargai, merevisi tulisan tanpa
henti. Semua cerita-cerita bagai kisah mistis yang sering membuat jiper duluan
(padahal punya karya aja belum).
Tapi setelah “mendengar” penulis-penulis ini
bercerita, setidaknya memberikan suntikan semangat baru: Kalau mereka bisa,
kenapa saya tidak? They fight and keep
fighting till the end! (Alias tulisan mereka SELESAI)
Buat saya,
membaca buku ini membuat saya malu karena banyak beralasan tidak bisa menulis. Stop reasoning with yourself. Lawan tuh malasmu! (Ini
jeritan hati saya hehe)
Nah? Nggak
usah repot nyari alasan. Masih ingin jadi penulis, kan? *toyordirisendiri
gyaaa namaku disebuut...hihih, iya baca buku ini jadi malu sendiri hihihi...bagus banget tulisan2nya, jadi reminder for myself kalo aku blom berjuang to the max..
ReplyDeleteGo fight..buku ini seru karena bisa menjadi reminder for ourself, udah maksimal blom perjuangannya huhu..cemumuut...
ReplyDeletetulisan Mak Winda keren niiiyy... ho oh bener, aq juga pengin toyor Mak Winda, eeehh...toyor diri sendiri maksudnya :D :D
ReplyDelete