Aku ingin selamanya di sini. Dalam dunia pengelana yang hidup di rerimbunan pohon dalam
pondok-pondok bambu. Dunia yang dipayungi angkasa. Di atas sana biru membentang
berbercak awan putih, dan sinar matahari menyelip di sela dedaunan. Ini adalah
langit tanpa cela.
Namaku Lintang. Konon malam
bertaburan bintang saat aku dilahirkan. Dan entah sejak kapan aku telah jatuh
cinta pada langit. Kala aku menangis, aku berlari ke padang depan rumahku. Melihat
awan berarak, tangisku berhenti. Jika aku resah, aku naik ke atap rumah. Aku menatap
bulan tersenyum, dan merasakan hangat dipeluk angkasa. Langit selalu menyelipkan
bahagia untukku.
Kuhirup udara yang asin bersama harum
dari cangkir kopi. Pak Made yang baik hati telah membuatkannya untukku. Minuman
yang tidak lazim dinikmati di hari cerah. Tepi pantai adalah tempat yang cocok
untuk jus buah segar atau es kelapa muda. Bukan kopi tubruk. Tapi aku menginginkannya
setelah terjaga puluhan jam sejak meninggalkan Jakarta.
Ah, Jakarta. Aku tidak pernah menyukai
langitnya. Warnanya selalu kusam dan tampak muram. Pagi hari udara berkabut asap.
Waktu siang matahari seperti murka. Bahkan aku tak dapat melihat riang bintang
berkelip di malam hari. Jutaan lampu
seperti membuatnya sembunyi. Sepuluh tahun sejak aku meninggalkan kotaku dan tinggal di sana, aku
tidak menemukan langit yang bisa membangkitkan sukacita.
Sampai aku bertemu dia.
Pertama kali kami berkenalan, aku
begitu yakin dialah jodohku. Lihat saja namanya: Langit. Dan lihat namaku! Kami
seolah ditakdirkan untuk bersama. Aku menemukan Langit yang sempurna. Bersama
Langit aku sangat bahagia.
Sampai senja itu. Aku ingat warna
yang membias di jendela. Jingga yang terhalang kabut.
“Lintang, tidak mengertikah kamu,
bahwa kebahagian itu datangnya dari sini?” Langit memegang dadanya. Tempat
jantungnya berdetak.
Dan
aku tidak bisa mengerti. Langit meninggalkan aku dengan sejuta pertanyaan, dan
sekepal rasa bersalah yang mendesak hati. Langitku yang sempurna meninggalkan
aku. Langit yang memberiku keluasan dan keteduhan.
Kusadari mungkin aku terlalu jauh. Sementara
Langit, dia selalu ada. Aku tidak. Sudah sepantasnyalah dia pergi. Dan Langit membawa
serta kebahagiaanku juga. Tanpa Langit, bintang tak lagi bercahaya. Kemana lagi
aku bisa mencari?
Lalu aku melihatnya. Berkedip-kedip
di layar monitorku. Hamparan biru angkasa dan deburan ombak. Bagai menerima surat
undangan semesta, aku langsung beranjak keluar Jakarta. Mencari langit yang sempurna.
Maka di sinilah aku. Di ceruk
Nusadua, di pulau dewata bagaikan surga. Di antara deretan tempat menawan dalam
kompleks The Bay Bali, aku memilih
tempat ini. Pirates Bay. Dan aku
menenggak kopi panas di siang bolong. Ini kemewahan yang tidak kujangkau sebelumnya.
Ketika bekerja adalah untuk selamanya, dan liburan tak pernah ada dalam kamus
hidupku.
Seorang
bajak laut kecil berlari melintas. Dua anak berambut pirang menyusulnya
kemudian. Mereka sedang berburu harta dari sebuah kapal karam di atas pasir. Keluarga
mereka riuh bersorak. Di sini semua menjadi bajak laut. Kaum pengelana yang
telah melihat jutaan langit menawan di laut lepas.
Aku beranjak ke bibir pantai. Pasir
yang lembut dan hangat membelai jemari. Debur ombak mendekat dan tiupan angin
semakin sejuk. Sore menjelang. Tirai langit beringsut berganti. Saatnya
pergantian babak dalam satu pertunjukan agung karyaNya.
Dari kejauhan Pak Made berjalan ke
arahku. Topi bajak lautnya tidak menyembunyikan rautnya yang bijaksana.
“Silakan, salah satu appetizer favorit di Pirates Bay,” ujarnya sambil menyodorkan
sepiring calamari and chips. “Kami
sedang menyiapkan barbeque untuk malam
ini. Semua pengunjung bisa memanggang sendiri makanan yang disukai. You better be hungry, Miss Lintang.”
Aku lupa kapan terakhir kali aku benar-benar
makan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupaku siang tadi, dengan lingkaran
hitam di seputar mata, setelah sehari semalam tidak tidur dan tidak mandi. Pak
Made menunjukkan ketulusannya dengan memperhatikan aku sejak pertama kali tiba
di Pirates Bay.
Senyumku mengembang. Dan langit mulai
berwarna pelangi.
“Langitnya sangat indah, Pak Made,”
ujarku mengucapkan versi lain dari terima kasih. “Apakah langit di sini selalu
sesempurna ini?”
“Anda menyukai langit, Miss Lintang?”
“Saya menyukai semua langit yang
indah, Pak Made. Langit pagi yang lembut, semburat senja, langit malam yang
pekat. Langit yang sempurna selalu membawa kebahagiaan buat saya.”
“Ah, bukankah langit memang karyaNya Yang
Selalu Sempurna, Miss Lintang?”
“Tapi di Jakarta saya tidak pernah
menemukannya. Langit di sana tidak membuat saya bahagia seperti di sini.” Lalu aku
seperti mendengar dengung merdu dari semburat langit yang berangsur redup. Perfect sky.
“Sebentar lagi obor dan lampu akan
dinyalakan.” Suara Pak Made yang lembut memecah hening. “Kalau miss Lintang berkenan, silakan tunggu
sampai esok pagi. Sunrise di Pirates Bay adalah moment yang
ditunggu-tunggu semua orang.”
“I
would love to, pak Made. Tidak ada yang lebih membahagian dari melihat
langit yang indah dan sempurna.”
“Baik, saya akan menyiapkan sleeping bag dan keperluan lainnya. Miss Lintang bisa menginap di salah satu
tenda. Biar malam ini merasakan hidup seperti bajak laut, melihat
bintang-bintang ditemani ombak..”
“Another
perfect sky,” sambungku. “Tempat ini luar biasa.”
Pak Made mengangguk takzim. “Terima kasih,
miss Lintang. Tapi, semua langitNya
selalu sempurna. Kalau saja kita mau mengerti, maka tidak ada alasan untuk
tidak bahagia.”
Aku merasakan hembusan angin dalam
hatiku. Bisikan itu datang dari langit.
Every sky is perfect.
Blog
post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness:
Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! www.thebaybali.com