Semalam, habis
menyantap ayam goreng, saya berdua Neng Lilis langsung terkapar. Mbak Anggun
(Pemenang II Non Fiksi) sih masih kuat ngobrol dengan peserta lainnya. Sebagai morning
person, rencananya
pagi-pagi aja keliling komplek, sambil ngulik cerita teman-teman.
Kenapa sebelumnya
saya bilang saya ‘pulang kampung’ ke Jakarta, karena acara TN 2014 dipusatkan
di anjungan Jawa Tengah itu (saja). Waktu masuk komplek TMII saya mikir, coba
kalau acara ini di anjungan Toraja atau Sumbar gitu, lebih menarik kan, buat
saya? Menginap di rumah Tongkonan, atau rumah Gadang, pasti seru kan?
|
Joglo Tempat Menginap |
|
Ya gitu deh,
orang suka menganggap sesuatu yang dekat itu biasa. Nah, jalan-jalan di dalam
anjungan Jawa Tengah melihat replika candi-candi, juga gebyok penuh ukiran, jelas tidak membuat saya
terpesona. Lha wong, sudah sering lihat aslinya. Lain buat Rijal dari Aceh yang
saya ‘paksa’ foto di depan replika mini –banget- candi Borobudur hehehe. Semoga
bisa segera sampai ke tempat aslinya ya.
Selesai acara
jalan-jalan yang tak jauh-jauh ini, kita sempat duduk-duduk bareng di ruang
tamu. Kesempatan untuk berbagi pengalaman dan cerita seputar dunia penulisan. Kebetulan
mbak Ruwi Meita (Pemenang I Cerpen) juga sudah sampai. Jadilah kami bersebelas -sudah ada Romario, mahasiswa Sastra Jepang (Pemenang II Cerpen)- ngariung sambil
bertukar cerita.
Excited banget mendengar para penulis berbicara dengan logat yang
berbeda. Palembang, Makassar, Madura, Aceh, Jakarta, Cianjur, Jawa,…. Seperti lagu.
Kan nggak asyik kalau nadanya satu aja. Enak didengar kalau berbeda-beda, tapi
harmonis. Nyanyi membelai jiwa…. ***Ah, mau sok nulis puisi nanti digetok sama
yang lainnya. :P
Nah, sekarang
ngomongin cerita para pemenang, seperti karya yang sudah pernah saya singgung
sebelumnya, masing-masing penulis di TN ini memang menuliskan ‘sesuatu’ dari
daerah masing-masing.
Mbak Anggun
misalnya, (Nostalgia Dua Moyang – Pemenang II Non Fiksi) membawa cerita dari
Tangerang tentang perpaduan dua budaya yang serasi satu sama lainnya. Rizal
Alief (Gaik Bintang – Pemenang III Novel) menceritakan budaya nikah dini di
daerah Madura, tempat tinggalnya. Saya sampe miris dengar latar belakang
ceritanya.
Daeng Didin (Kasipalli Ri Butta
Kajang – Pemenang I Puisi) dan Bang Gegge (Ayah dan Ibu, 1 Ramadhan Ini Saya
Tidak Pulang – Pemenang I Non Fiksi) juga bercerita tentang adat di daerahnya
di Makassar sana. Aseli saya ngaku lupa detailnya cerita ini, meskipun sudah
sempat nanya.
Lain lagi puisinya Faisal Oddang (Menjelang Akad Nikah) dan cerpen
Guntur Alam (Jam Kai di Meja Sembahyang Makan Malam) yang belum sempat saya
kulik ceritanya. So little time, too much
information to ask.
Jadi, so, maka…. Untuk TN 2015 (semoga masih ada *fingercrossed), kita harus mulai menggali
cerita-cerita lokal yang menarik. Apa harus dari daerah sendiri? Enggak juga
sih, meski sebetulnya cerita yang dekat dengan kita kan banyak. Saatnya bangga
dan mempromosikan daerah masing-masing, bukan?
Nah, kalau sudah punya resep yang oke (alias cerita yang
menarik) jangan lupa diberi ekstra topping.
Ini sih ceritanya mbak Ruwi Meita (Pulung Gantung – Pemenang I Cerpen). Mba Ruwi
menuliskan tentang fenomena gantung diri di daerah Gunung Kidul, yang di-mixed dengan keberadaan situs-situs di
daerah sana. Ini pasti karena mbak Ruwi sering nulis cerita-cerita petualangan,
jadi cerpennya berbau-bau misteri. Pengen baca, Mbaak.
Selain karya
masing-masing di TN 2014, pembicaraan para penulis ya seputar penerbit (dan
royaltinya hehe), seluk beluk
lomba-lomba menulis, dan acara TN ini sendiri. Intinya sih, kami ini kepingin
Tulis Nusantara semakin maju di masa datang. Inginnya juga tahun depan
ikutan lagi dan semoga kami bisa reunian lagi. Hihihi. *digetoksamayanglain
Bersambung ... (3) Tulis Nusantara 2014: Panggung Penari dan Bon Jovi