Tuesday, November 18, 2025

Tactogram, Sentuhan Teknologi Pemandu Jutaan Langkah

 

 

Kita berjalan di antara gedung dan pertokoan, melintasi taman-taman kota, dan segala fasilitas publik seperti terminal dan stasiun kereta, terasa begitu biasa. Langkah kaki kita terayun dengan mantap, tahu kemana arah berpijak. Mata kita menangkap semua tanda tanpa perlu bertanya-tanya.

Pernahkah kita berpikir, bagaimana dengan kelompok masyarakat lain -mereka yang melihat dunia dengan cara berbeda- beradaptasi dengan desain kota yang terasa wajar?

Masyarakat tunanetra, yang terhubung dengan dunia lewat suara, sentuhan dan bunyi.

Kita yang bisa melihat seringkali lupa, bahwa bagi mereka, informasi visual yang bertebaran di ruang publik -dari rambu di jalan hingga peta petunjuk- bagaikan sebuah jurang yang memisahkan mereka dari kemandirian. Desain untuk orientasi dan mobilitas yang mengandalkan mata tak pernah adil bagi tunanetra.

Salah satu dosen saya pernah berkata, seorang arsitek harus bisa menciptakan desain yang humanis, desain yang berpusat pada manusia sebagai pengguna. Artinya sebagai desainer kita harus memahami manusia, menekankan empati, termasuk mengerti apa yang diperlukan berbagai pihak termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, sehingga menciptakan desain yang mudah diakses bagi banyak orang.

Realitanya dalam pekerjaan saya sehari-hari, desain arsitektur untuk penyandang disabilitas sering dikesampingkan atau hanya menjadi tempelan karena berbagai alasan. Adalah fakta, di banyak sudut kota, ketidakadilan untuk penyandang disabilitas dalam hal ini tunanetra masih menjadi masalah yang nyata.

JARAK YANG TERBENTANG

World Health Organization memperkirakan bahwa ada lebih dari tujuh juta orang menjadi buta setiap tahunnya. Di Indonesia, angka tunanetra prevalensinya mencapai 1,5% dari populasi, yang berarti jumlahnya lebih dari empat juta orang. Jumlah ini akan terus bertambah.  

Sudah saatnya kita menyadari bahwa di sekitar kita ada jutaan manusia dengan keterbatasan, yang memiliki hak yang sama untuk bisa bergerak secara mandiri.

Menciptakan desain ruang publik yang ramah bagi tunanetra bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban.

Pemerintah sesungguhnya telah mengeluarkan peraturan-peraturan tentang penyandang disabilitas, yang secara tegas mewajibkan negara dan penyelenggara layanan publik menyediakan aksesibilitas yang adil. Meski dalam praktiknya, pada bangunan-bangunan publik, di jalanan, di berbagai fasilitas layanan transportasi, belum tersedia akses yang memadai. Jangankan tanda-tanda arah, jalur bagi tunanetra yang terpasang di jalanan saja seringkali tidak jelas, dan dipasang asal-asalan.

Kegagalan dalam menciptakan fasilitas yang inklusif adalah kegagalan kolektif dalam berempati. Kita terlalu nyaman dengan kemampuan mata kita melihat dunia sehari-hari, sampai lupa bahwa dunia yang sama, terasa berbeda bagi tunanetra.

Hukum yang sudah mengatur, bagaikan janji yang terpisah jarak dari kenyataan. Jarak yang berupaya untuk dijembatani oleh seorang pemuda dari Jawa Barat, Fariz Fadhlillah.

DARI EMPATI JADI SOLUSI

Teramat mungkin dalam keseharian, Fariz telah menghabiskan berjam-jam waktunya untuk mengamati desain taktil yang terpasang di berbagai tempat. Desain taktil ini merujuk pada benda-benda yang didesain dengan permukaan bertekstur yang biasa dipasang untuk membantu para tunanetra melakukan mobilitas secara mandiri.

Bagi seseorang yang belajar teknologi desain, Fariz menyadari bahwa kunci desain yang baik adalah desain yang dapat dipahami dan memberikan pengalaman yang baik bagi penggunanya.

Fariz kemudian melakukan pengamatan pada desain taktil yang ada di Stasiun Kereta Api Bandung. Untuk menggali fakta lebih dalam lagi, Fariz juga mewawancarai puluhan penyandang tunanetra. Hasilnya, sebuah keluhan yang seragam: ketidakkonsistenan desain taktil yang sudah ada. Para penyandang tunanetra yang diwawancarai Fariz merasa sulit membedakan simbol satu dengan yang lain karena teksturnya terlalu mirip atau terlalu rumit.

Kesimpulannya, desain yang sudah ada masih kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan para tunanetra. Dari sini Fariz bertekad untuk menciptakan sesuatu yang dapat membantu mereka untuk bisa bergerak dengan lebih percaya diri.

Dengan menggabungkan pengetahuannya tentang desain dan bahasa universal sentuhan, setelah tekun meneliti dan melakukan berbagai percobaan, Fariz menghadirkan ubin Tactogtam, sebuah ubin taktil, yang bisa menjadi penuntun tunanetra dengan bahasa yang lebih cerdas dan inklusif. Sebuah jembatan yang nyata.

Jembatan Nyata: Ubin Tactogram

Sumber: @tactogram. (n.d.). Instagram. Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram

 

TEKNOLOGI TACTOGRAM

Tactogram adalah sistem panduan sentuhan yang menggunakan bentuk geometris sederhana untuk menyampaikan informasi publik yang penting, sehingga tunanetra dapat dengan cepat membedakan dan memahami maknanya saat mereka merabanya di ruang publik.

Tactogram sebagai sistem simbol, adalah “rambu-rambu” khusus yang dirancang untuk dibaca melalui sentuhan.

Simbol-simbol ini berupa bentuk-bentuk geometris sederhana seperti kotak atau lingkaran, dan dibuat timbul agar dapat diraba. Melalui bentuk-bentuk ini, tunanetra dapat membaca secara sistematis dengan meraba bentuknya sehingga proses mengenali simbol lebih cepat dan efisien. Misalnya simbol sebagai penunjuk arah ke toilet, ke pintu keluar, atau tangga. Dengan demikian informasi-informasi kritis ini mudah dipahami oleh tunanetra terutama pada saat mereka berada di ruang publik seperti stasiun, bandara, atau rumah sakit.

Prinsip kesederhanaan ini diterapkan Fariz dalam mengembangkan ubin Tactogram. Simbol-simbol pada ubin Tactogram dipilih bukan tanpa alasan. Keempatnya memiliki bentuk yang mudah dibedakan, dengan presisi yang tinggi untuk diidentifikasi lewat sentuhan. Jari atau tongkat tunanetra dapat dengan cepat dan pasti membedakan jumlah sudut dan lengkungan. Hal ini penting untuk mencegah kebingungan. 

Fariz juga hanya memakai empat bentuk simbol untuk mengoptimalkan kinerja System Working Memory. Jika terlalu banyak memakai simbol berbeda, otak harus berusaha lebih keras untuk mengingat dan membandingkan semuanya secara berurutan, sehingga proses navigasi menjadi lambat dan tidak efisien.

Setiap simbol pada ubin Tactogram dibuat dengan jarak dan kedalaman tekstur yang tepat agar bisa dikenali dengan mudah oleh ujung tongkat yang biasa dipakai tunanetra. Cekungan di tengah-tengah ubin disesuaikan dengan ukuran ujung tongkat tunanetra, agar mereka lebih mantap berjalan sesuai jalur.

Pemilihan warna ubin Tactogram juga dirancang agar inklusif bagi semua jenis gangguan penglihatan, bukan hanya bagi yang mengalami kebutaan total. Berdasarkan teori ada tiga warna yang digunakan Fariz pada ubin Tactogram yaitu grayscale (hitam putih), kuning, dan biru.

KOLABORASI GLOBAL UNTUK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

Sebuah konsep yang hadir dari empati telah terwujud menjadi sebuah teknologi baru. Tactogram hadir sebagai sistem navigasi bagi tunanetra untuk menentukan arah dengan lebih presisi dan cepat.

Namun inovasi bukan hanya tentang menciptakan, melainkan terus menyempurnakan. Fariz terus berkomitmen untuk mengembangkan ubin Tactogram tidak hanya inklusif dan peduli pada isu sosial, namun juga menjadi karya yang peduli lingkungan.

Sebagai peneliti dan penemu Tactogram, Fariz berkolaborasi dengan Chloe, seorang material engineer dari Inggris. Keduanya bersama Conture Concrete Lab, sebuah micro-factory dengan spesialisasi pada material beton yang berkelanjutan, berpartisipasi dalam sebuah program global bernama Design Matters Lab. Mereka berupaya mengubah limbah menjadi bahan baku untuk membuat ubin pemandu.

Inovasi menjadikan ubin taktil menjadi karya peduli lingkungan.

Sumber: @tactogram. (n.d.). Instagram. Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram

 

Kain bekas, pecahan beton, pecahan kaca, hingga puntung rokok dicoba untuk diolah menjadi bahan baku yang berguna. Dari hasil percobaan itu, ditemukan bahwa pecahan beton menjadi bahan baku yang memberikan kekuatan terbaik. Hasil ini menambah optimisme Fariz bahwa kualitas produk ubin Tactogram lebih baik dibandingkan ubin taktil yang banyak dipakai di jalan.

 

MENGHADAPI TANTANGAN

Meskipun ubin Tactogram terus dikembangkan, sistem ini menghadapi kendala fungsional yang mendasar. Agar desain Tactogram dapat bekerja secara optimal dan akurat, diperlukan kesesuaian antara ubin taktil di permukaan lantai dengan alat bantu utama pengguna: tongkat tunanetra.

Sayangnya hingga saat ini belum ada standar resmi di Indonesia yang mengatur spesifikasi ukuran dan bentuk ujung tongkat tunanetra. Di lapangan hal ini akan mempengaruhi akurasi panduan yang diberikan oleh ubin Tactogram.

Tantangan dari desain infrastruktur juga perlu dihadapi dengan banyaknya trotoar yang dibangun tanpa standar, sehingga ubin taktil terpaksa terputus atau terpasang dengan kemiringan yang berbahaya.

Keterangan Foto: Di Lapangan, ubin taktil sering terabaikan, terhalang oleh aktivitas masyarakat.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

 

Kurangnya empati sosial juga membuat keberadaan ubin taktil seringkali terabaikan, sehingga tertutup oleh pedagang kaki lima, bahkan parkir ilegal. Tantangan ke depan keberadaan ubin taktil juga menghadapi kendala dalam pemeliharaan, yang bisa menyebabkan ubin berlumut, retak bahkan pecah, mengubahnya dari sarana bantuan menjadi jebakan.  

Keterangan Foto: Kehadiran ubin taktil di jalan, perlu didukung dengan pemeliharaan yang baik agar terus memberikan manfaat.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

 

Karena itu Fariz terus berkomitmen untuk menyempurnakan desainnya dengan membuat ubin Tactogram menjadi anti licin dengan kekuatan yang terus ditingkatkan sehingga aman dan nyaman digunakan oleh tunanetra. Sebuah upaya inovasi teknologi tiada henti untuk menghasilkan produk terbaik yang berkelanjutan.

Sebagai bukti keseriusan dan komitmennya, desain inovatif Fariz telah diakui secara resmi oleh negara. Pada tahun 2024, ia berhasil mendapatkan hak paten dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk karyanya: “Tactile Pictogram System”.

Hak Paten dari Kementerian Hukum dan HAM RI

Sumber: @tactogram. (n.d.). Instagram. Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram

 

Di masa depan, dengan mengusung prinsip desain yang universal, Fariz berupaya agar Tactogram bisa diaplikasikan di banyak tempat tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Sebuah sistem yang bisa mengubah permukaan benda-benda pembentuk ruang di sekitar kita seperti dinding dan lantai menjadi bidang yang bisa dibaca dengan sentuhan. Dengan sistem ini, tunanetra dan orang dengan keterbatasan penglihatan bisa bernavigasi di ruang publik dengan kemandirian yang lebih besar.

 

DUKUNGAN ASTRA UNTUK PEMUDA DAN TEKNOLOGI

Teknologi tidak terbatas pada penemuan mesin-mesin canggih atau software mutakhir, melainkan juga inovasi karya yang mengedepankan desain yang humanis. Satu langkah yang ditempuh Fariz dalam berkarya untuk menjembatani kesenjangan yang dilihatnya sehari-hari, di masa depan menjelma jadi jalan yang pembuka peluang-peluang baru.

Dengan Semangat Astra Terpadu untuk (SATU) Indonesia Awards, Astra melihat potensi dari Tactogram yang dikembangkan Fariz dan memberi ia penghargaan sebagai Penerima Apresiasi Tingkat Provinsi: Satu Indonesia Award tahun 2024 di bidang Teknologi, sebagai Perintis Desain Tactile untuk Aksesibilitas Tuna Netra, dari Provinsi Jawa Barat.

Tactogram sebagai karya yang lahir dari empati, mengirimkan pesan bahwa puncak dari pengembangan teknologi bukan terletak pada produk yang canggih dan mahal, melainkan pada kemampuannya untuk bermanfaat pada manusia.

Apresiasi SATU Indonesia Awards yang diberikan kepada Fariz dalam bidang teknologi merupakan wujud konsistensi Astra dalam memberikan apresiasi kepada kaum muda visioner yang mampu menerjemahakan ide menjadi inovasi teknologi yang nyata di lapangan.

Penghargaan SATU Indonesia Awards bukanlah penutup dari kisah Fariz, melainkan sebuah dorongan dan dukungan dari Astra bagi kaum muda untuk terus berani mengambil langkah untuk berkarya.

 

Bertahun lalu, langkah Fariz bersama Tactogram dimulai dari visi sederhana, bahwa setiap orang seharusnya bisa bebas bergerak di dunia yang luas ini tanpa kendala.

Fariz mengajak kita turut mewujudkan kehadiran sebuah sistem universal yang tidak hanya menjadi tempelan, tetapi menjadi bagian mendasar dari desain ruang-ruang publik, menjadikannya lebih dekat, hadir bagaikan uluran tangan senyap yang memandu jutaan langkah manusia.

 

#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia

 

Daftar Referensi:

Karya Ilmiah dan Publikasi Jurnal:

Fadhlillah, F. (2018). Building General Perception for Blind People as Orientation System in The Bandung City Train Station through The Pictogram Design. Dalam 1st International Conference on Art for Technology, Science, and Humanities (ARTESH). ITB, Bandung.

Fadhlillah, F. (2020). Seminal Breakthrough In Tactile Pictogram Design For Visually Impaired In Train Station. Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia FSD - Universitas Multimedia Nusantara, 13(2), 1-15.

Fadhlillah, F. (2021). Optimizing Visually Impaired Ability to Read Tactile Pictogram through Texture Design. Visualita Jurnal Online Desain Komunikasi Visual, 10(1), 14. https://doi.org/10.34010/visualita.v10i1.5091

Sumber Berita Daring:

RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. (2024, 22 Februari). Penyakit Mata Penyebab Utama Kebutaan di Indonesia. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. https://rsupsoeradji.id/penyakit-mata-penyebab-utama-kebutaan-di-indonesia/

Liputan6.com. (2025, 28 Februari). Keren, Fariz dan Chloe Sulap Limbah Puntung Rokok Jadi Guiding Block alias Ubin Pemandu untuk Berjalan. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/disabilitas/read/5938270/keren-fariz-dan-chloe-sulap-limbah-puntung-rokok-jadi-guiding-block-alias-ubin-pemandu-untuk-berjalan?page=4

Good News From Indonesia. (2025, 13 Oktober). Fariz Fadhlillah, Membangun Jalan yang Bisa 'Bicara' lewat Tactogram untuk Teman Tunanetra. Good News From Indonesia. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/10/13/fariz-fadhlillah-membangun-jalan-yang-bisa-bicara-lewat-tactogram-untuk-teman-tunanetra

 

Situs Web dan Media Sosial:

Tactilepictogram.com. (n.d.). Tactile Pictogram. Diakses dari https://tactilepictogram.com/

@tactogram. (n.d.). Instagram. Diakses dari https://www.instagram.com/tactogram

Tactologue. (2025). Tactogram Catalogue. [Katalog].

 

Panduan Pelayanan Kepada Penyandang Disabilitas (Ombudsman Republik Indonesia)

Diakses dari https://jdih.ombudsman.go.id/monografi/jdih-35/panduan-pelayanan-kepada-penyandang-disabilitas

 

Thursday, November 10, 2022

Film Seri Favorit

 


Kemarin habis ngomongin film-film yang cocok buat healing. Eh, tema minggu ini soal film favorit. Kalau di post kemarin udah film Indonesia, sekarang saatnya ngomongin film berbahasa asing. Paling gampang ya, film berbahasa Inggris.

Oke, mari lihat akun Netflix, ada film apa aja di sana.

Kalau di kategori film/ drama seri, bertengger serial Friends dan Gilmore Girls. Masing-masing sudah tak terhitung berapa kali keduanya saya tonton berulang-ulang. Mulai dari musim pertama, sampai musim terakhirnya.

FRIENDS

Serial Friends merupakan serial komedi situasi, karya dari David Crane dan Marta Kauffman. Selama hampir 10 tahun, tayang di NBC mulai dari 22 September 1994 sampai 6 Mei 2004.

Bercerita tentang kisah hidup enam orang sahabat di Manhattan, serial ini menjadi favorit banyak orang di banyak negara. Di tahun 2021, dibuatlah Friends: The Reunion, yang dibintangi masih oleh keenam tokoh sentralnya.

Karena ceritanya berlatar belakang kehidupan anak muda di Amerika, tentu saja banyak nilai-nilai yang muncul tidak sesuai dengan prinsip hidup kita (orang Indonesia).

Tapi kenapa favorit? Ceritanya memang bergenre komedi, jadi serial ini bisa “ditonton” sambil kerja, bikin makan lebih lahap, dan bisa menaikkan mood meski cuma didengarkan saja bak dengerin radio. Saya punya episode-episode favorit. Kebanyakan kalau mereka sedang melakukan piknik keluar kota.  

GILMORE GIRLS

Yang kedua, serial Gilmore Girls. Saya nontonya waktu zaman kuliah, di kontrakan. Serial ini sempat tayang di televisi lokal. Gilmore Girls terdiri dari tujuh musim, sebanyak 153 episode, mulai tayang di tahun 2000, dan episode terakhirnya tayang di tahun 2007.

Tokoh sentralnya adalah seorang perempuan (single mom) bernama Lorelai Gilmore dan anak remaja perempuannya (namanya sama, tapi dipanggil Rory) yang berjuang ingin masuk kuliah di Harvard University. Mereka tinggal di kota (fiksi) kecil bernama Stars Hollow, di Connecticut.

Kotanya ini unik banget dipenuhi tokoh-tokoh yang agak absurd. Tokoh-tokohnya dibuat jauh dari sempurna. Walaupun si tokoh utama, tetep ada nyebelin-nyebelinnya. Kadang saya geregetan, ngapain sih dia kayak gitu, dan sebel sendiri, tapi memang jadinya terlihat nyata.

Banyak episode yang asyik untuk ditonton, meski tetap ada drama-drama terutama karena konflik antara Lorelai dan orang tuanya yang kaya raya.

Salah satu episode favorit saya waktu diadakan makan malam dengan tema abad pertengahan di hotel tempat Lorelai bekerja, dengan mengundang seluruh warga kota. Episode favorit lainnya adalah hari pertama Rory kuliah, waktu Lorelai mengadakan pesta makan untuk seluruh penghuni asrama perempuan.

Demi tetap bisa nonton meski sudah nggak tayang di televisi, saya sampai nitip dibelikan DVD Gilmore Girls ini sama teman saya di Jakarta. Nggak asli, tentu saja. Tapi saya punya satu musim yang asli. Musim ke enam, saya beli di Gramedia. Waktu itu buat beli satu paket DVD serial yang asli mesti merogoh kocek 400 ribuan. Udah gitu barangnya jarang ada.

Serial ini menjadi “teman sejati” saya semasa hidup di kos-kosan. Pulang kantor di Jumat sore, berbekal belanjaan untuk memenuhi jatah makan, saya nggak keluar-keluar kos sampai berangkat kerja lagi di hari Senin pagi, sambil nonton Gilmore Girls lewat DVD.

Seperti juga serial Friends, di tahun 2016, dibuatlah film “revival”nya. Gilmore Girls, A Year in the Life. Ceritanya seolah ingin menjawab pertanyaan penonton tentang nasib Rory selepas lulus kuliah di Yale (iya, dia nggak jadi masuk Harvard).  Saya cuma nonton sekilas di akun Netflix orang lain, karena di akun saya nggak bisa. Ternyata tidak menarik. Saya lebih suka nonton serialnya saja.

Sempat sedih karena salah penyimpanan, beberapa DVD Gilmore saya rusak. Akibatnya saya cuma bisa nonton beberapa episode aja. Berakhir super hepi karena Girlmore Girls tersedia di Netflix. Semoga serial ini tetap bisa saya tonton selamanya.

 

 


Tuesday, November 1, 2022

Lima Film Indonesia Buat Naikin Mood Kamu

 


Bad mood bisa terjadi karena banyak hal. Urusan kerjaan yang nggak kelar-kelar, invoice belum cair, anak nangis melulu, dosen pembimbing sulit ditemui, atau simply because PMS. Kalau bad mood dipelihara, bisa-bisa kita nggak produktif, dan akibatnya justru menambah bad mood. Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mereduksi perasaan yang sedang tidak “good”. Salah satunya dengan mencari hiburan lewat menonton film.

Buat saya, nonton film sekarang menjadi pilihan kegiatan penghilang bad mood yang mudah dan murah. Sekarang banyak pilihan wahana nonton, tidak melulu harus ke bioskop. Bermanfaat banget buat orang-orang mager tapi tetap kepingin hiburan tanpa harus kemana-mana.

Meskipun film disebut hiburan, tidak semua film akan bikin mood kita membaik setelah menontonnya. Saya sendiri misalnya, nggak akan nonton film bergenre horor atau thriller, bahkan film romance yang sad ending kalau pengen mood membaik. Yang ada setelahnya jadi mikir, atau tambah depresi. Ada beberapa film Indonesia yang stay di playlist saya, sering saya tonton ulang, baik seluruhnya maupun sebagian, dan biasanya bikin mood membaik. Ini lima diantaranya ya.

1.       Ku Lari Ke Pantai (7+)

Film ini bisa ditonton mulai dari usia anak-anak. Pemeran utamanya mama cantik Marsha Timothy dan dua gadis remaja Maisha Kanna dan Lil’li Latisha. Ceritanya dua anak perempuan itu punya karakter yang bertolak belakang. Salah satunya anak pantai, dan satunya remaja ibu kota. Kita akan diajak mengikuti petualangan mama Marsha bersama anak gadis dan ponakan perempuannya, road trip dari Jakarta, Temanggung, Pacitan, Bromo, sampai ke Banyuwangi.

Tokoh-tokoh lain juga hadir diperankan Dodit Mulyanto dan yang bikin surprise Ligwina Hananto (iya yang financial planner itu). Keduanya lucu abis.

Nonton film ini rasanya diajak jalan-jalan gratis menikmati tempat-tempat yang indah di Indonesia.

 

2.       Perahu Kertas 1 dan 2 (16+)

Diadaptasi dari novel best sellernya Dewi Lestari. Konon novelnya dibuat dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa minggu saja. Film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Saking filmnya ingin bisa mencakup sebanyak mungkin kisah yang ditulis di novelnya, sampai dibikin jadi dua seri. Ceritanya tentang Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan (Adipati Dolken), dan upaya mereka untuk menggapai mimpi, meski realita terus menghalangi.

 

Kenapa saya menjadikan film ini hiburan yang naikin mood, salah satunya karena saya merasa relate banget dengan setting ceritanya yang dibuat di zaman saya. Jadi latar belakangnya berawal dari masa-masa Kugy dan Keenan kuliah di Bandung, di tahun 2000. Senangnya melihat masa itu orang saling berinteraksi tanpa banyak diinterupsi kehadiran ponsel dan internet. Setting Balinya juga asyik buat dinikmati, karena menampilkan suasana Bali yang adem dan artistik.

 

Salah satu kehadiran aktor yang paling saya sukai adalah Titi DJ, yang berperan jadi ibunya Kugy. Meski munculnya cuma sebentar-sebentar, tapi alami banget dah.

 

3.       Cek Toko Sebelah (18+)

Film besutan Ernest Prakasa ini enak banget ditonton karena kehadiran tokoh-tokoh pendamping yang lucu dan alami. Dialognya juga enak buat diikuti. Kalau konflik utamanya sebetulnya agak sedih gitu sih. Tapi sepanjang film saya terhibur karena hadirnya para pembantu toko dan teman-temannya tokoh utama, yang bertebaran di sepanjang film.

 

4.       Aruna dan Lidahnya (13+)

Sebetulnya bukan karena Dian Sastro atau Nicholas Saputra, saya udah baca duluan novelnya, dan sebetulnya nggak terlalu mengikuti alur utama tentang wabah flu burungnya, jadi ya udah deh, nonton. Buat saya film ini menghibur karena petualangan kuliner yang mengiringi mbak Dian menyelidiki tentang virus yang sempat viral di Indonesia di tahun 2000an. Rawon, Lorjuk, Rujak Soto, macam-macam kuliner akan bikin kita auto laper.

 

5.       Belok Kanan Barcelona (13+)

Film yang saya baru tahu setelah nonton kalau adaptasi dari novel ini lucu deh asli. Ceritanya klasik tentang cinta yang tak berbalas, dibalut pertemanan masa SMA. Hadirnya Anggika Bolsterli dan Deva Mahendra yang lucu dan konyol abis bisa mengimbangi kisah romans antara Morgan Oey dan Mikha Tambayong. Nggak banyak drama-drama ga penting, mengalir pake romans-romans tapi tetap bisa guyon. Nonton!

Sunday, October 30, 2022

Kamu Suka Drama Korea?

 


Kamu Suka Drama Korea?

Nggak banyak sih, film Korea yang sudah saya tonton. Apalagi drama Korea (Drakor) yang biasanya sampai ber-season-season. Waktunya yang belum tersedia untuk bisa deal with alur cerita yang biasanya sengaja dibuat panjang dan banyak konflik. Rasanya kurang bisa menikmati film yang terlalu banyak “drama”. Nonton itu, (menurut pendapat saya) mestinya bikin kita happy, dan releived. Bukannya nambahin stress.

Dengan alasan kendala bahasa, saya juga jarang memilih Drakor buat ditonton. Karena waktu nonton seringkali dilakukan sambil mengerjakan hal lain, mulai beberes rumah atau kerja di depan laptop, saya lebih suka bisa sesekali cuma “mendengar” film, ketimbang “menonton” dengan mata harus terus mantengin layar. Inilah salah satu sebab di playlist Netflix saya isinya cuma film-film yang sudah pernah saya tonton (berulang kali). Macam playlist musik zaman Winamp dahulu kala. Eh, bahkan ketimbang mendengarkan musik, saya lebih suka “mendengarkan” film sambil bekerja.

Kembali ke Drakor, satu-satunya drama Korea yang ada di playlist Netflix saya adalah Hometown Cha Cha Cha. Meski saya nggak paham bahasa Korea, “mendengar” film ini sudah memberi efek yang mirip seperti saya sedang “nonton” film kesukaan saya yang lain.

Trus, kenapa kok Hometown Cha Cha Cha?

Ceritanya tentang hubungan antara seorang dokter gigi perempuan dan seorang laki-laki serba bisa. Setting cerita berada di daerah pedesaan Korea yang terletak di tepi laut.

Saya tahu Drakor ini dari perbincangan teman-teman SMA di grup WA, dan baru benar-benar tergerak nonton karena ada bapak-bapak yang ikutan merekomendasikannya. Saya pikir pasti ada yang beda dari ceritanya sampai dia mau nonton Drakor ini diantara banyaknya film lain padahal waktunya nggak banyak.

Setelah saya nonton, pertama kali tentu saja ada bagian-bagian yang ke-skip. Alias saya nggak mantengin bener, cuma sekilas-sekilas aja dilihat. Kalau saya nggak suka, baru satu atau dua episode, si Drakor sudah hilang dari playlist. Biasanya karena alur cerita terlalu “drama” atau tokoh yang “sok keren”. Kadang konflik yang terlalu kentara di awal bisa bikin males nerusin nonton juga.

Tapi Drakor yang ini, saya menikmati alur cerita yang mengalir pelan, seolah-olah cerita sehari-hari. Belum lagi tokoh-tokohnya yang terlihat alami. Nggak sok cantik, nggak sok keren, seolah biasa aja. Settingnya pun demikian. Rumah-rumah yang jadi tempat tinggal para tokohnya kelihatan riil.

Biasanya lagi, kalau jumlah tokoh dalam film terlalu banyak, saya juga males nerusin nonton. Apalagi ini film asing dengan nama-nama asing. Dijamin nggak akan hafal siapa itu siapanya siapa. Tapi di Hometown Cha Cha Cha tokoh yang banyak itu dilengkapi dengan karakter yang kuat. Masing-masing bahkan punya cerita latar belakang, yang bisa melengkapi cerita si karakter utama, tanpa bikin pusing.

Tokohnya komplit mulai dari anak SD sampai nenek-nenek. Masing-masing punya cerita. Dan meski Drakor ini bergenre komedi dan romance, tetap ada kisah-kisah yang bikin mewek. Terutama kisah yang relate banget sama saya. Yang mana, ya rahasia aja dah.

Meski akhirnya setelah lewat sepuluh episode, drama mulai meruncing, plus kejadian-kejadian yang dibikin serba kebetulan, tapi tetap Drakor ini masih jadi Drakor yang saya simpan di playlist.

Sesudahnya saya sampai mantengin grup setiap ada pembicaraan soal Drakor, berharap ada lagi Drakor yang semacam ini. Tapi belum ada tuh, yang ngena seperti yang satu ini.

Kalau ada yang mau kasih rekomendasi, boleh ya kasih tahu saya.

 

 


Saturday, October 15, 2022

Lima Kumpulan Berita Viral - yang Masih Jadi Angan-angan





Kadang, membaca berita viral di berbagai kanal media, membuat kita bosan. Dalam satu waktu, beritanya itu-itu saja. Kadang juga kita mengrenyit, kok ya bisa gitu aja viral, karena buat kita berita-berita itu seringkali terasa nggak mutu dan nggak relate.

Kadang, saya berharap, ada berita-berita viral semacam ini, yang bisa membuat hati bahagia.

Kumpulan berita viral di bawah ini, masih dalam angan-angan saya. Dibayangkan boleh, diharapkan, ya rada susah bisa terwujud. Tapi berangan-angan memang hobi banyak orang. Dan kalau sudah bisa bikin hepi meski beritanya cuma khayalan, ya lumayan.

1. Sembarangan parkir mobil di jalan warga, wajib bayar tarif Rp500 ribu per jam. Parkir lebih dari satu jam tanpa izin, mobil otomatis menjadi milik warga setempat.

Ehm, di negara mana gitu, aturan ini pasti akan membuat para warga yang selama ini terzolimi karena susah keluar dari garasi rumah sendiri bisa bernafas dengan lega.

2. Mulai bulan depan, setiap tagihan listrik Rp250 ribu dan kelipatannya, mendapatkan voucher belanja Rp100 ribu di minimarket pilihan Anda.

Ya kali ada yang nggak seneng dengar berita ini di tengah kenaikan tarif listrik, dan harga barang yang terus naik. Sarana promosi macam ini, bisa membuat pelanggan aktif menggunakan perangkat listrik, meningkatkan pembelian kompor, dan mobil listrik. Minimarket akan ramai, otomatis, karena daya beli masyarakat meningkat. Tapi bagi perusahaan penyedia listrik, akibatnya mungkin akan sangat fatal.

3. Setiap siswa yang belum memiliki KTP, mendapatkan layanan antar jemput gratis yang wajib disediakan oleh setiap sekolah.

Dipastikan para ibu yang setiap pagi berjibaku mengatur jadwal antara mengantar anak dengan jadwal yang berbeda-beda, sementara di rumah setrikaan numpuk, sayur dan tempe belum dimasak, akan bersorak gembira. Hal ini juga bisa mencegah banyaknya anak-anak di bawah umur, yang tentunya belum punya SIM, berkeliaran di jalan mengendarai kendaraan bermotor.

4. Setiap pengantin baru, akan diberikan fasilitas rumah gratis yang bisa ditempati selama sepuluh tahun.

Banyak hal positif dari hal ini, diantaranya bisa menambah waktu nabung biar akhirnya bisa punya DP buat beli rumah, tanpa habis duluan karena mesti bayar kontrakan. Dan bisa mengurangi konflik dengan para mertua yang seringkali terlaporkan dan viral (beneran) di media sosial.

Kadang kita juga harus hati-hati ya sama berita yang viral. Karena nggak semua yang viral itu benar adanya. Seperti saya ini. Judulnya ada 5, kok isinya ternyata cuma 4.

Cita-cita saya memang nulis lima berita viral, tapi malam ini barusan banget mendarat di kasur habis setir menyetir dan nyeberang pakai kapal dari bumi Sriwijaya balik ke Ibu kota. Jadi ya agak pegel-pegel raganya, dan jiwanya cuma pengen mainan di laptop, ngeliatin IG story sambil menahan kangen sama kucing-kucing di rumah. Ini barangkali salah satu tulisan paling cepet yang saya bikin di blog ini. Mulai ngide sampai jadi nggak ada sejam. Empat aja dulu deh berkhayalnya. Selamat beristirahat, semoga bahagia, kita semua.

Thursday, October 6, 2022

Menang

 



“Kalau nggak suka bola, kok nonton bola?”

“Aku suka melihat orang yang menonton pertandingan sepak bola.”

“Semacam hobi gitu nontonin orang? Aneh banget sih, nggak ngerti.”

Memang banyak yang dia tidak mengerti.

“Aku suka melihat wajah-wajah penonton bola.”

“Ada apa emangnya di muka mereka?”

“Ada berbagai macam emosi.”

Dahinya berkerut.

“Kalau mukanya penonton bulutangkis kamu tontonin juga?”

Aku menggeleng.

“Basket? Voli?”

“Tidak.”

“Aneh. Kamu ini orang paling datar. Tapi hobinya nontonin muka orang.”

“Malam minggu besok ada pertandingan. Kamu mau ikut?”

Sorot matanya langsung berubah. Sejurus kemudian berganti lagi.

“Nggak deh, makasih. Mana mungkin. Aku ini sakit.”

“Dokter bilang kamu boleh keluar rumah.”

“Buat apa, toh bentar lagi mati.”

“Kamu tidak boleh menyerah.”

“Kamu nggak liat apa keadaanku ini? Kalau hidup ini pertandingan, aku udah kalah.”

Rautnya masygul.

“Di pertandingan sepak bola kamu bisa melihat wajah-wajah yang kalah seperti apa. Bukan seperti kamu.”

Bibirnya mengerucut, alisnya yang tebal bertaut.

“Kalau kamu ikut, aku akan menemani kamu ke mana saja kamu mau.”

“Ke mana aja?”

Aku mengangguk.

Dia terdiam. Tangannya sibuk memainkan ponsel, meski aku tahu pikirnya telah bertualang.

“Kalau aku mati, emangnya kamu mau nemenin?”

Dikiranya aku tak mendengar.  

*

“Aduh! Kemasukan gol lagi!”

Pekikmu terurai oleh marah yang menggemuruh. Kerumunan raut menjadi geram dan gusar.

Aku beranjak.  

“Ayo pulang.”

“Nanggung, sekalian nonton sampai selesai, ya!”

Paras yang telah berminggu-minggu pucat itu merona.

“Aku mengajakmu bukan untuk menonton pertandingan.”

“Minta minum!”

Aku menyodorkan air dalam botol yang telah surut separuh.

Dia menenggaknya sampai habis.  Pandangannya beralih ke lapangan. Rakus melahap kembali hidupnya yang sempat terenggut senyap.

Menit-menit berlalu. Aku mengedarkan pandangan. Mengamati aneka rupa. Mengintai gerak-gerik. Kecewa, amarah, frustrasi.

“Kita pulang sekarang.”

Tanganku menangkap tangannya. Siap menariknya pergi.

Matanya membola menatapku.

“Kamu… takut?”

Iya.

“Lebih baik pulang sekarang.”

Senyumnya tersungging.

“Tapi aku masih mau di sini. Ayo, tepati janjimu, temani aku.”

Aku berhitung.

“Tidak akan menang.”

“Seperti aku.”

“Bukan.”

“Kamu tahu rasanya berminggu-minggu cuma teronggok seperti lap gembel?”

Aku menggeleng.

“Sekarang aku nggak peduli kalah atau menang. Aku cuma mau nonton pertandingan ini sampai selesai!”

Dalam kekuatannya aku melesak. Terus menatapnya. Tak seguratpun cemas.

Orang-orang mulai merangsek. Dia makin merona diantara berang.

Asap menyesakkan membumbung. Aku menyeret langkahnya menerobos kemelut.

Tapi ujung jalan pun pampat.

Aku sudah tak bisa melihat dia. Hanya mendengarnya terus tertawa meski terjejal di dekatku. Sedekat kudengarkan degupan jantungnya.

Aku merenungkan parasnya sekali lagi. Dia tidak pernah kalah.


Foto dan Gambar:

Freepik

Friday, July 1, 2022

Kamu Malas? Cari Tahu Seberapa Malasnya Kamu

 


Waktu didera rasa malas, sebetulnya perasaan akan menjadi tidak tenang. Malas itu buat saya artinya enggan atau menunda-nunda melakukan satu hal yang semestinya dikerjakan. Saya tidak akan merasa malas harus mencuci mobil, misalnya, karena itu bukan tugas saya. Tetapi saya mungkin akan sesekali malas mencuci piring, karena yah, cuci piring kan tugas saya.

Kalau kamu gimana? Pengen tahu kadar kemalasan kamu? Kuis ini bisa jadi rujukan (yang kurang valid) untuk  mengukurnya.

1.       Pagi pagi, cuaca mendung, dingin dan adem. Kamu memilih untuk:

a.       Bikin kopi, duduk cantik di meja sambil sarapan

b.       Tidur lagi

c.       Pegang hape, lihat sosmed

2.       Baju-bajumu setelah selesai dicuci, biasanya akan:

a.       Disetrika dong!

b.       Teronggok di atas sofa sampai beberapa minggu ke depan

c.       Langsung dijejalkan ke lemari.

3.       Jika kamu diberi tambahan PR, apa yang kamu lakukan?

a.       Senang karena mendapatkan kesempatan untuk mendapat tambahan nilai

b.       Ya udah lah ya, yang kemarin aja lupa.

c.       Nunggu teman selesai mengerjakan lalu pinjem PRnya

4.       Ketika staycation di hotel, mana aktifitas favoritmu?

a.       Mencoba semua fasilitas hotel seperti kolam renang dan gym

b.       Goler-goler di kamar yang adem

c.       Breakfast

5.       Kalau bisa memilih jadi panitia suatu acara, maka kamu akan memilih untuk jadi:

a.       Ketua panitia

b.       Penggembira

c.       Seksi konsumsi

6.       Ketika akan membeli suatu barang, ini yang akan kamu lakukan:

a.       Survey harga barang di berbagai marketplace, lalu beli di tempat yang paling murah

b.       Titip belikan teman

c.       Beli di toko terdekat

7.       Jam berapa biasanya kamu mandi pagi?

a.       Sebelum matahari terbit.

b.       Apa itu mandi pagi?

c.       Ya liat-liat, kalau ada acara baru mandi.

8.       Coba lihat kuku jari tanganmu sekarang. Gimana kondisinya?

a.       Pendek dan rapi

b.       Macam kuku mak lampir

c.       Lumayan nggak panjang-panjang amat

9.       Kalau salah satu kerabatmu tiba-tiba mengabarkan akan berkunjung ke rumah, apa yang kamu lakukan?

a.       Siapin dia suguhan yang enak.

b.       Ga usah bales pesannya, biar dikira nggak di rumah.

c.       Gedabrukan beresin rumah

10.   Coba lihat blogmu sekarang, kapan terakhir kali update?

a.       Barusan

b.       Nama blog gue apa, ya?

c.       Beberapa bulan yang lalulah.

Nah, kalau udah dicatat jawabannya, ini dia analisisnya:

Kalau jawabanmu kebanyakan A, maka selamat, kamu adalah orang yang jauh dari rasa malas. Keep up the good work!

Kalau jawabanmu kebanyakan B, maka kamu harus segera insyaf. Potong dong kukunya, kuku panjang bisa jadi biang penyakit.

Kalau jawabanmu kebanyakan C, sebenarnya kamu adalah pemalas yang cukup kreatif. Jadi, coba cari motivasi yang kuat, supaya rasa malas bisa berkembang ke arah yang positif.




Meski terindikasi malas, bukan berarti 100% kamu akan jadi orang yang gagal. Konon roda sebagai penggerak utama yang masih dipakai oleh orang-orang masa kini, ditemukan karena nenek moyang kita dulu “malas” harus membawa-bawa barang berat. Roda ditemukan sebagai metode yang lebih efisien.

Bahkan banyak juga dikutip bahwa Bill Gates, pendiri Microsoft lebih memilih orang malas untuk mengerjakan pekerjaan yang sulit, karena mereka akan mencari cara paling cepat untuk mengerjakannya.

Orang-orang yang malas, bisa jadi lebih efisien dalam menggunakan energi, jadi akhirnya justru menemukan cara-cara kreatif dalam mengerjakan sesuatu.

Semoga ya!